Pecinan Glodok Sebagai Bagian Dari Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Jakarta Dalam Kajian Semiotik Bagian 2

Kawasan Glodok Dalam Peta Konservasi dan Revitalisasi Kota Tua

Berdasarakan data UPK Kota Tua Jakarta, visi dari Rencana Induk Kota Tua adalah ‘terciptanya kawasan bersejarah Kota Tua Jakarta sebagai daerah tujuan wisata budaya yang mengangkat nilai pelestarian dan memiliki manfaat ekonomi yang tinggi’. Pecinan Glodok termasuk dalam pengembangan zona 3 dengan fokus pada budaya etnis (Pecinan) yang terdiri dari daerah Pasar Pagi, Pintu Besar Selatan dan Pinangsia. Beberapa objek pengamatan dengan karakter khas Pecinan yang bisa dilihat dari ketiga area tersebut diatas bisa ditemui di :

  1. Jalan Kemenangan Raya (Klenteng Jin De Yuan)
  2. Jalan Kemenangan 3 (Vihara Toa Se Bio, Gereja Santa Maria De Fatima)
  3. Jalan Toko Tiga dan Perniagaan (Klenteng Tan Se Ong, Rumah Keluarga Souw)
  4. Pasar Petak Sembilan dan Gang Kalimati (kental suasana Pecinan)
  5. Jalan Pancoran dan Gang Gloria (Bermacam Toko Obat Cina, kuliner eksotis khas Tionghoa, Es Kopi Takkie)

Selain itu, dapat dilihat juga beberapa bangunan ruko lama yang masih mempertahankan atap lengkung khas Tionghoa, gerbang masuk khas Tionghoa pada gang-gang kecil, serta rumah-rumah dengan ciri khas Tionghoa. Bahasa Tionghoa dan musik bernuasa Tionghoa juga sering terdengar.

Kajian semiotik Pecinan Glodok sebagai kawasan Cagar Budaya dan Tujuan Wisata Kota Tua perlu melihat kehadiran penanda-penanda yang menggiring kita pada pemaknaan yang sesuai, sehingga dapat dipahami secara benar. Latar belakang terbentuknya dan perjalanan hidup kawasan ini memberikan lebih dari satu makna tunggal yang mampu memberikan pendalaman dan kekayaan bagi kawasan ini sebagai kawasan Cagar Budaya dan Tujuan Wisata Kota Tua. Untuk itu kita perlu melihat Pecinan Glodok dari tiga aspek :

  1. Glodok sebagai Pecinan
  2. Glodok sebagai Kawasan Cagar Budaya dan Tujuan Wisata
  3. Glodok sebagai Tempat Bersejarah

Glodok sebagai Pecinan

 Penanda-penanda yang ada pada kawasan Glodok sangat jelas memperlihatkan bahwa ini adalah kawasan Pecinan. Lebih dari 80% masyarakat yang bermukim di Glodok merupakan keturunan Tionghoa. Klenteng, ruko lama dengan atap lengkung khas Tionghoa, Rumah khas Tionghoa, Toko-toko khas Tionghoa bisa kita temui. Seperti yang telah disebutkan diatas juga, atmosfer kebudayaan Tionghoa masih sangat bisa dirasakan dengan kuat. Aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan kebudayaan Tionghoa, seperti perayaan Imlek menjadi peristiwa yang cukup besar di kawasan ini. Maka pemaknaan Glodok sebagai sebuah Pecinan tidaklah menjadi sulit.

Glodok sebagai Kawasan Cagar Budaya dan Tujuan Wisata

Citra Glodok lebih dikenal sebagai pusat perdagangan, kumuh, banyak pedangang kaki lima, daerah kemacetan, diasosiasikan dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Kekumuhan dan ketidaknyamanan membuat gambaran Pecinan Glodok jauh dari bayangan kawasan cagar budaya. Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa Pecinan Glodok merupakan bagian dari tujuan Wisata Kota Tua. Penanda-penanda yang ada tidak memperlihatkan bahwa ini sebuah situs yang dilindungi dan sebagai tujuan Wisata Budaya. Glodok telah berkembang menjadi pusat perekonomian, yang dalam perjalannya banyak menghancurkan penanda-penanda penting Cagar Budaya. Konservasi yang baik harusnya bisa dilakukan, seperti di Shanghai atau kota-kota besar Eropa seperti Milan dan Roma yang mampu mempertahankan bentuk facade kota tuanya seiring menjadikannya sebagai pusat perekonomian. Di kawasan Pecinan Glodok banyak sekali bangunan khas Tionghoa yang sudah hancur atau hilang digantikan bangunan-bangunan dengan tampilan modern.

Meminjam teori perencanaan urban Kevin A. Lynch, maka tata ruang Glodok bisa dibenahi melalui 5 elemen berikut:

  1. Path. Jalur pada kawasan pecinan Glodok saat ini tidak mendukung untuk suatu perjalanan wisata. Mobil, motor, becak dan pejalan kaki berdesak-desakan di jalan yang sama. Tidak adanya wayfinding yang jelas membuat orang sulit untuk menelusuri kawasan ini. Diperlukannya sebuah sign system sebagai penunjuk lokasi dan objek-objek cagar budaya agar mudah ditemukan. Perancangan ‘wayfinding’ yang baik akan membuat sirkulasi penelusuran kawasan efektif dan terhidar dari potensi titik-titik simpul kepadatan.
  2. Untuk memperjelas kawasan Pecinan maka perlu dibuatkan batas yang jelas. Dalam hal ini penggunaan Gerbang Masuk kawasan merupakan hal yang paling efektif. Saat ini Gerbang hanya ada di gang-gang kecil pemukiman.
  3. Pada kawasan Pecinan Glodok setiap wilayah cagar budaya , seperti pasar petak sembilan, jalan Kemenangan 3 perlu diperkuat identitas dan karakteristiknya dengan fungsi yang spesifik di masing-masing wilayah. Hal ini dilakukan agar identifikasi wilayah yang lebih cepat dan mudah bagi pengunjung.
  4. Titik -titik berkumpul belum terlihat ada saat ini. Ruang terbuka diperlukan agar menjadi muara dan tempat berkumpul sehingga sirkulasi juga menjadi baik.
  5. Saat ini yang bisa dianggap landmark di kawasan ini adalah Harco electronic dengan jembatan penghubung ke Pasar Glodok. Dua-duanya merupakan gedung modern yang lebih dekat sebagai landmark pusat perekonomian bukan sebagai landmark Pecinan. Sebuah landmark harus mudah dikenali dan dilihat dari kejauhan, Gerbang Utama masuk kawasan bisa menjadi solusi.

Objek-objek cagar budaya seperti Klenteng Jin De Yuan dan Gereja Santa Maria De Fatiama harus terus dipelihara dengan pendekatan konservasi. Begitu juga ruko-ruko lama yang masih bisa diselamatkan. Upaya-upaya revitalisasi harus tetap berfokus pada upaya cagar budaya, sehingga tidak dengan mudah menggantikan yang sudah ada. Upaya modernisasi seperti yang dilakukan PT. Supra Megah Utama dengan proyek pembangunan Pancoran Chinatown Point (masih dalam tahap pembangunan) di jalan Pancoran bukan solusi tepat, karena tidak sejalan dengan misi Cagar Budaya untuk melestarikan. Walaupun di desain dengan kecirian budaya Tionghoa, ia tetap memperlihatkan kebaruan bukan ‘sejarah’ masa lalu.

“Kegiatan pemeliharaan bangunan, meliputi berbagai aspek yang bisa dikategorikan dalam 4 kegiatan, yaitu pemeliharaan rutin harian, rectification (perbaikan bangunan yang baru saja selesai), replacement (penggantian bagian yang berharga dari bangunan), dan retrofitting (melengkapi bangunan sesuai kemajuan teknologi). Poin-poin ini adalah aspek teoritis yang jika dijalankan dengan benar, maka proses pemeliharaan dapat berjalan dengan sempurna. Tapi selain aspek tersebut diatas, masih ada aspek yang menentukan progress pemeliharaan yang akan dilakukan, yaitu aspek budaya dan etika.” (Setiawan, B. 2010: 702). Pecinan Glodok sebagai situs Cagar Budaya seharusnya, memiliki porsi pertimbangan yang besar pada aspek budaya dan etika dalam pemeliharaan dan pembangunan di dalam kawasan tersebut, dan ini sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang.

Tata ruang dalam kawasan Pecinan Glodok terbentuk dalam kondisi represi. ‘Kesemerawutan’ yang terjadi menjadi simpul-simpul yang sulit diurai. Penanda-penanda sebagai fungsi ‘tata kota’ dan penanda-penanda sebagai identitas ‘cagar budaya’ harus mulai diperhatikan dengan serius agar cap ‘Cagar Budaya’ yang telah dicanangkan pemerintah menjadi sesuai.

Berlanjut ke Bagian 3 https://dkv.binus.ac.id/2015/09/30/pecinan-glodok…iotik-bagian-3/ ‎

Jonata Witabora