Perofesiyonal

Pertanyaan yang hampir selalu mampir tiap saya mengajar di kelas CB IV adalah “profesional itu apa sih, Pak?” Dan karena hampir selalu ditanyakan di dua angkatan awal saya mengajar CB IV, maka semenjak tahun ketiga saya menanyakan duluan ke para mahasiswa. Tujuannya untuk mendapatkan diskusi dan pandangan lain dari mahasiswa. Selalu menarik mendapat pandangan dari mahasiswa!

Tapi tulisan ini nggak akan membahas pandangan para mahasiswa tersebut.

Untuk saya, profesional itu “sesederhana” — “Menjalankan segala sesuatu yang telah disepakati di awal” Biasanya menjadi perdebatan adalah yang “di awal” itu apa aja. Bagi saya, segala sesuatu peraturan yang ada di tempat kita bekerja, lebih disempitkan — peraturan yang tertulis. Bila tidak ada peraturan tertulisnya, dapat dirujuk pada saat interview. Apa aja yang disampaikan ini-itu nya di saat interview. Dan berpeganglah kita kepada hal itu.

read more

Selain itu biasanya tiap profesi memiliki asosiasi yang merumuskan kata profesional, bagi saya hal itu malah dijadikan plug-in saja, yang semestinya dirujuk awal tetap dengan siapa kita bekerja. Untuk siapa kita bekerja.

Menjadi sulit bila rujukannya selalu maunya kita, standarnya kita, kita akan selalu merasa telah bekerja, telah memberikan waktu, karena terkadang saat kita mengalami konflik, mengalami perbedaan pastinya membutuhkan tolak ukur untuk berpijak, dan bagi saya sistem dan aturan di mana kita bekerja tetaplah menjadi rujukan awal untuk menarik kesimpulan.

Dulu pernah punya anak buah yang “top banget”. Tiap datang ke kantor yang pertama dilakukan adalah membaca ramalan bintang untuk hari ini di internet, padahal datangnya aja udah lewat-lewat. Kelar ramalan bintang, langsung manggil OB untuk minta dibeliin sarapan. Kelar sarapan periksa email, jawab-jawabin email sampai jam makan siang. Begitu jam makan siang, ya harus makan siang, istirahat nggak boleh diganggu. Kelar makan siang, karena kerjanya sebagai marketing maka dia melakukan tele-marketing, yang selalu diselingi dengan telponan hahahihi dengan teman-temannya. Dan nggak lupa sesekali untuk keluar sebentar untuk merokok. Plus status Yahoo Messenger yang senantiasa aktif untuk chat sana-sini. Pernah satu kali, seminggu pegawai itu menghilang, ditelpon nggak diangkat, nggak ada kabar sama sekali. Begitu masuk, ternyata dia sedang melakukan perawatan tubuh (lupa sedot lemak atau suntik apa… hehehe) — begitu dipanggil diperingatkan sih iya-iya aja, tapi kok bisa-bisanya diakhiri dengan, “kalo gue minjem uang ke bos bakal dikasih nggak ya, duit gue udah abis nih!” Gleg! Kurang dari sebulan setelah kejadian itu, pegawai itu resmi diminta mengundurkan diri, saya diminta Pak Bos untuk melakukan itu, itu pertama kalinya buat saya memecat seseorang.. Dan hebatnya tetap nggak merasa ada yang salah dengan segala kelakuannya itu.

Oia — mantan anak buah itu laki-laki bukan perempuan =)

Yah kalo contoh di atas sih memang kebangetan. Nggak kebayang kalau dulu itu udah ada era Facebook, pasti jadinya benar-benar not working bukannya membangun networking. Era dulu era sekarang, saya yakin intinya tetap sama. Perbedaan, ketidakpuasan, tekanan, target di tempat kerja lumrah terjadi, dan pasti bakal terjadi. Siapa sih yang nggak mau dapat tempat kerja yang bergaji gede, internet kenceng, deadline terserah, teman-teman kantor cakep-cakep dan baik hati, tunjangan dan bonus sampai bikin bingung karena tak pernah berhenti. Yang penting kita bekerja dan melakukan segala sesuatu (setidaknya) seluruh yang telah disepakati di awal. Bila ada yang tidak sesuai ya dibenahi, ada yang kurang ya ditambah agar jauh lebih baik, jangan hanya misuh-misuh fokus sama permasalahan bukannya mencari solusi untuk memperbaiki. Terlebih bila malah rungsing “ngerasani” kantor, ngomongin sana-sini, apriori kok bisa tak kenal henti — hei kita masih makan gaji dari kantor kita lho! =)

Danu Widhyatmoko
http://widhyatmoko.wordpress.com