Parara 04: Diskusi dengan Adgi
Desain Bagi Publik: Desain Yang Adil dan LestariFestival
#PararaLapangan Banteng, 6 Juni 2015
Masih dalam rangkaian acara di Festival #Parara, diadakan diskusi yang diselenggarakan bersama oleh Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI), DKV Binus University, DKV Universitas Tarumanagara dan #Parara, yang membahas tentang peran desain komunikasi visual dalam mengembangkan produk-produk komunitas lokal.
Dalam diskusi ini penggiat program pendampingan komunitas Nusantara menghadirkan Jusupta Tarigan (NTFP-EP Indonesia) dan Rio Bertoni (JMHI) mewakili #Parara, Sari Wulandari dari Jurusan DKV New Media BINUS University dan Toto Mujio Mukmin dari Jurusan DKV Universitas Tarumanagara mewakili akademisi, dan Cecil Mariani selaku profesional di bidang Desain Grafis dan juga pengajar di DKV IKJ, serta Adityayoga yang mewakili Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI). Keenam nara sumber ini akan berbagi cerita dan pengalaman mereka mengenai proses perancangan yang telah dilakukan dalam kolaborasi Pra-Festival #Parara dan rencana strategi ke depan dalam pengembangan produk komunitas lokal, dipandu Zinnia Nizar-Sompie selaku moderator yang merupakan Ketua Umum ADGI. Di dalam diskusi ini digulirkan topik desain sebagai cara kerja, atau bidang keahlian dan keilmuan, yang dapat memberi manfaat yang nyata bagi publik, menunjang keadilan dan kelestarian hidup warga Nusantara. Berikut ini adalah cuplikannya.
Zinnia: Bagaimana kesan rekan-rekan di #Parara atas keterlibatan desainer dalam menggarap produk-produk komunitas lokal?
Rio Bertoni: Banyak manfaat yang bisa diambil dalam kolaborasi ini. misalnya penyampaian iinformasi kepada masyarakat bahwa lebah tidak hanya menghasilkan madu saja tetapi masih ada produk-prduk lain dari madu yang bisa disampaikan ke masyarakat. Selain itu juga dampak ekonomi, dampak ekologi, dampak kesehatan bagi konsumennya. Hal-hal seperti ini perlu diedukasi kepada konsumen sehingga produk komunitas lokal (komlok) bisa diterima.
Di sini ada peran akademis sebagai pintu masuk kawan-kawan komlok untuk bisa diapresiasi di masyarakat. Selain itu manfaat lain yang bisa diambil bahwa teman-teman mahasiswa ini bisa menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Dari sini pun dapat timbul peluang bagi masyarakat untuk dapat menilai atau memberi penghargaan secara profesi (desain).
Zinnia: Bagaimana dengan proses kerjasama dgn desainer?
Jusupta Tarigan: Dalam rangka persiapan penyelenggaraan Festival Parara, maka diadakan Pra Festival yang ditujukan untuk memberi edukasi ke masyarakat luas. Sebagai pertimbangan daripada membidik target yang terlalu luas maka kegiatan ini difokuskan untuk edukasi kepada generasi muda, dalam hal ini mahasiswa dan kebetulan dari di #Parara ada mas Rico yang merupakan dosen dan memiliki akses ke Untar dan Binus. Dengan berjalannya kegiatan Pra Festival ini kami semakin yakin bahwa langkah ini baik untuk dilakukan, terlebih setelah bertemu dengan kawan-kawan mahasiswa DKV, ternyata banyak di antara mereka yang baru mendengar nama dari beberapa masyarakat adat di Kalimantan.
Dengan adanya kerjasama ini maka #Parara terbantu dalam hal materi komunikasinya, juga kawan-kawan mahasiswa mendapat informasi yang lebih luas dan mendalam tentang Indonesia.
Untuk kerjasama yang lebih jauh lagi, akan sangat menarik apabila kolaborasi dengan institusi pendidikan ini dijalankan dapat bentuk magang, sehingga projek yang dilakukan dapat lebih menantang dan mahasiswa dapat lebih kenal dengan produk serta masyarakatnya.
Zinnia: Dari institusi pendidikan sendiri bagaimana tanggapannya terhadap kolaborasi ini?
Sari Wulandari: Kami di institusi pendidikan khususnya di DKV Binus memang membutuhkan materi untuk studi kasus dalam mata kuliah kampanye sosial. Kami rasa akan baik apabila kasusnya nyata dan dapat direalisasikan. Beruntung sekali dengan adanya kerjasama DKV Binus dengan #Parara yang sudah memiliki komlok-komlok yang sudah dibina dengan semangat ‘adil dan lestari’. Hal ini sangat berharga bagi kami untuk dapat kami garap bersama melalui materi perkuliahan Kampanye Sosial.
Pengalaman kolaborasi ini di Binus, mahasiswa menjadi lebih kenal dengan Indonesianya, dengan beragam budaya, beragam produk yang bisa dipanen, bahwa masa panen tidak hanya berlaku untuk tanaman tetapi juga anyaman, kemudian bahwa kearifan lokal yang ada di tiap daerah itu berbeda, masing-masing punya filosofi. Lewat kolaborasi ini kami belajar banyak tentang hal itu.
Mengenai proses, karena desain dibuat dengan latar belakang akademis / keilmuan, ada proses penciptaan desain yang dilalui dalam beberapa tahapan. Karya visual yang dihasilkan tidak sertamerta jadi dengan tiba-tiba namun mahasiswa harus kenal dulu dengan produknya, kenal dgn spirit yang melatarbelakanginya. Dari situ barulah mahasiswa bisa melahirkan karya-karya visual seperti yang bisa kita lihat dalam pameran hari ini.
Toto Mujio Mukmin: Ini merupakan momen yg baik bagi mahasiswa mendapat studi kasus dari problem yang nyata. Ada dua hal disini, pertama adalah edukasi kepada mahasiswa tentang produk komunitas, yang kedua adalah edukasi kepada komlok-komlok tentang proses desain.
Kami melihat ini sebagai sebuah pembelajaran yang sangat penting bagi mahasiswa tentang bagaimana mereka membangun produk yang real. Problem yang ada di sekitar produk tersebut juga menjadi tanggungjawab mahasiswa sebagai proses pembelajaran. Bahwa bagaimana desain berperan dalam pengembangan sebuah produk dari yang sebelumnya biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa. Di sini keduanya sama-sama tumbuh, desainer tumbuh menjadi desainer yang sangat paham tentang produk mulai dari nol sampai hasil akhir seperti apa, produk pun tumbuh berkembang.
Proyek seperti ini sebaiknya terus dijalankan. Dengan begitu ada sustainability yang terjaga sehingga komunitas-komunitas terus tumbuh dan kita dapat menemukan hal-hal menarik yang potensial untuk dikembangkan. Ini adalah awal dr sebuah penyadaran bagi kita bahwa kita punya potensi yang luar biasa dan bisa terus berkembang.
Zinnia: Cecil sebagai desainer professional yang juga mengajar di IKJ kira-kira ada kendalanya apa bagi desainer untuk bisa terlibat dalam penggarapan seperti ini?
Cecil Mariani: Disiplin desain di Indonesia, itu kita mendapatkannya dari Barat. Tantangannya ketika kita mendesain hal yang lokal, ini dapat berubah menjadi hal yang eksotis bahkan bagi desainer itu sendiri. Karena ada proses belajar, misalnya tentang bentuk ukiran dll. ketika pola-pola itu tidak dipahami, kita melihat produk sendiri itu menjadi produk yang asing. Ada jarak, ada eksotika.
Upaya-upaya ‘mengawinkan’ desainer mahasiswa dengan komlok ini adalah langkah yang bagus, sangat menarik dan sangat perlu dilakukan. Ini seharusnya sudah terjadi sejak dulu. Terlebih di negara kita belum ada Design Council untuk memajukan ekonomi lokal ketika produk harus bersaing di masyarakat global, di mana mereka harus punya value, punya pesan dan informasi yang harus disampaikan, yang semua itu berperan dalam penciptaan makna.
Tantangannya adalah kita mendesain untuk produsennya juga manusianya. Adalah PR untuk pendidik / desainer profesional, belajar lagi bahasa-bahasa lokal untuk diteliti. Hal yang menarik untuk menjadi penelitian misalnya mengapa satu daerah menyukai satu warna / ornamen tertentu, yang tentunya ada hubungannya dengan nilai kulturalnya. Hal-hal seperti ini masih banyak berjarak pada desainer-desainer yang tinggal di kota-kota besar karena buku-buku referensi yang digunakan banyak dari Barat.
Selain itu korelasinya dengan produk industri pabrik, seperti minuman dalam kemasan. Jangan-jangan yang dibuat di industri rumahan tidak harus dengan kemasan yang seperti ini. Bisa jadi mereka punya bahasa sendiri yang belum kita temukan. Yang sering terjadi adalah di mana kemasan moderen seperti ini lalu ditempelkan ornamen. Sebagai langkah awal hal seperti ini merupakan respon alami.
Yang juga menarik misalnya mengenai packaging. Untuk di pasar, disiplinnya sudah jelas, untuk keperluan transportasi harus mengikuti standar tertentu. Kemudian berkembang ada isu sustainability di mana pada jaman dahulu kita selalu menemukan makanan di pasar yang dibungkus dengan daun pisang, kertas koran + lidi, namun tanpa brand. Ini menarik untuk diteliti, apakah ini lebih baik baik bagi produsen? apakah bentuk seperti ini dapat digunakan kembali? Penelitian-penelitian seperti ini menarik untuk dilakukan. Proses-proses seperti ini apabila dilakukan pasti ada evolusinya juga secara alami.
Zinnia: Apakah Adgi bisa membantu dalam hal itu, bagaimana pendapat Adit?
Adityayoga: Saya berpandangan apakah ini ideal untuk dilakukan dalam kerangka kampanye sosial atau justru lewat commercial campaign? Pada saat isu ini didudukkan pada social campaign, eksposurenya jadi sangat kurang. Justru pada saat produk-produk yang akan diangkat ini adalah produk komersial. perlu digali hal-hal kecil juga nilai-nilai yang sangat kuat sebagai produk yang punya keunggulan kuat, misalnya nilai-nilai religi di suatu tiap daerah punya keunggulan tertentu sehingga ini bisa dimunculkan bahwa tiap-tiap produk punya nilai jual. Nampaknya isu ini perlu diletakkan pada kerangka berpikir commercial campaign. Oleh karena itu saya ingin mengajak teman-teman desainer untuk berpikir ke arah commercial campaign agar masyarakat lebih mengenal lagi potensi komersial yang ada di dalam diri produk itu.
Zinnia: Bila diarahkan kepada komersial, apakah produknya sendiri sudah siap? Bagaimana pendapat teman-teman #Parara?
Jusupta Tarigan: Dari 22 lembaga yang memiliki produk, beberapa ada yang sudah siap. Kalau ingin diarahkan ke commercial campaign beberapa produk sudah dikenal. Namun sekarang kami berfokus pd produk-produk yang belum dikenal, maka perlu untuk mempromosikan produk. Untuk itu dalam acara Festival ini teman-teman DKV Binus n Untar memilih 10 produk yang bisa diangkat di #Parara, tentunya dengan keterbatasan waktu disesuaikan dengan jadwal perkuliahan.
Konsorsium #Parara krn memang masih baru (baru terbentuk tahun ini) dengan melakukan kolaborasi dengan dua perguruan tinggi ini, kami merasa puas dengan hasil yang ditampilkan. Kalau bisa ada studi untuk culture design sepertinya akan menarik sekali, sehingga mahasiswa bisa kenal dgn komlok secara langsung. Kami di NTFP-EP Indonesia yang bergerak sebagai LSM pendamping pun kadang merasa jangan-jangan terlalu memaksakan sebuah desain. Kami melihatnya bagus tapi tidak tahu dengan pasti apakah motif ini bisa digunakan atau tidak. Dengan demikian maka riset itu memang perlu dilakukan. Bila akamedisi ingin melanjutkan ke tahap penelitian, kami siap memfasilitiasi dalam menjembatani komunikasi dgn 22 lembaga pendamping.
Zinnia: Apa kendala komlok dalam berkolaborasi dengan desainer, terutama dalam upaya mengkomersialisasikan produk tersebut?
Rio Bertoni: Yang utama adalah desainer perlu paham dulu dengan produk yang akan dikerjakan, paham dengan situasi dan kondisinya. Ini menjadi kunci. Dalam kesempatan ini #Parara berkolaborasi dengan mahasiswa meskipun dalam perkembangan proses desain masih ada bahasa yang belum sesuai seperti redaksi yang belum tepat, namun ini proses yang bisa kita sebut ‘belajar bersama’ .
Berbeda dengan perusahaan yang memang targetnya komersial murni, cukup bayar desainer, pesannya diblow-up di media, selesai.
Tentunya berbeda dengan produk-produk komunitas seperti ini, yang memiliki keterbatasan itu, sehingga inisiasi membangun kolaborasi seperti ini menjadi penting. Kolaborasi dengan pemerintah atau universitas, NGO, atau komunitas. Ini menjadi strategi yang kita inginkan. Terkait hubungan kerjasama dengan kawan-kawan di universitas, di dalamnya pun ada proses seleksi seperti bagaimana memilih desain yang baik. Ini pun berjalan.
Ada pesan kami untuk teman-teman di universitas, ajang-ajang seperti ini bisa menjadi kesempatan untuk membangun komunikasi dalam mengenal produk / komunitas / aktivitas kawan-kawan di daerah. Bersama 22 lembaga pendamping, kawan-kawan di Binus, Untar dan IKJ, ini kesempatan baik apabila misalnya ide magang dijalankan akan lebih baik. Apalagi kota Jakarta sudah sangat moderen sehingga terjun ke lapangan / daerah akan menjadi menarik. Teman-teman dapat mengetahui banyak hal tentang latar belakang produk, misalnya tenun yang bagus itu relatif lebih mahal karena pewarna alaminya yang membutuhkan proses yang memakan waktu lama.
Harapannya festival ini bisa menjadi sebuah awal untuk kolaborasi, dan dengan mengkampanyekan produk ini, maka upaya melestarikan lingkungan Indonesia terwujud. Harapan lainnya bahwa produk-produk yang ada di toko itu adalah produk komunitas yang sudah dikomersialisasikan sehingga dampak ekonomi dan ekologinya bagi komnsumen benar-benar terasa.
Zinnia : Apakah perguruan tinggi bisa mewujudkan hal itu? Apa ada upaya untuk memperkenalkan kebudayaan di sekolah-sekolah yang mungkin bisa mempersingkat waktu untuk menjawab kebutuhan adanya pengetahuan tentang elemen-elemen visual Indonesia?
Toto Mujio Mukmin: Mahasiswa harus membuat karya desain based on problem, berangkat dari problem yang real. Product knowledge. tidak bisa cukup dilihat sepintas tetapi harus dimulai dari proses awal mulai dari ingredients dan sampai benefitnya, di mana produk-produk lokal jauh lebih sehat, lebih murni tanpa bahan tambahan. Dalam hal ini sebelum kita mendesain mungkin harus ada medium yang bisa mempertemukan komunikasi antara komlok dgn desainer. Mungkin ada sebuah hub yg bisa menjadi medium yang memediasi desainer, ketika ingin merancang produk di daerah itu bisa terbantu. Perlu dipikirkan bagaimana membangun hub itu tadi misalnya dengan cara online. Perlu dibangun media komunikasinya.
Rio Bertoni: Sebetulnya mahasiswa juga bisa datang langsung sehingga bisa berkomunikasi secara langsung. Kami di #Parara sangat terbuka, kawan-kawan mahasiswa bisa dekati komunitas lokal sambil belajar mengenal produk untuk mengeksplor lagi kemampuan kawan-kawan mahasiswa dalam mengembangkan sebuah hasil karya desain yang bermanfaat bagi komunitas. Ini peluang, ini kesempatan. Karena tak kenal maka tak sayang. Saya yang aktif di JMHI sangat mengapresiasi upaya kolaborasi ini. Kegiatan #Parara ini pun disambut baik pula oleh kementerian-kementerian terkait, mudah-mudahan untuk kegiatan selanjutnya bisa lebih terkonsep dan memberikan dampak yang lebih positif lagi bagi kemajuan produk-produk komunitas yang bernaung dalam konsorsium #Parara ini.
Sari Wulandari: Semangat kami di kampus ingin untuk selalu dapat mengembangkan nilai-nilai lokal, spirit ini selalu didorong terus kepada mahasiswa dan dosen untuk selalu melihat pada nilai-nilai lokal, misalnya ketika mereka sedang mengerjakan karya-karya desain kemasan / branding / kampanye sosial. Dalam kegiatan bersama #Parara saat ini DKV Binus berpartisipasi dalam bentuk kampanye sosial, kebetulan di semester ini kami sedang berjalan mata kuliah Kampanye Sosial sedangkan di DKV UnTar sedang berjalan mata kuliah Branding. Dengan kondisi seperti ini maka Binus dan UnTar bisa berkolaborasi bersama dan bisa saling melengkapi.
Penelitian juga selalu melihat pada apa yang bisa diangkat sebagai sesuatu yang baru dari apa yang sudah kita punya sebelumnya. Dari nilai-nilai lokal yang kita miliki kemudian dieksplor untuk digunakan di masa kini, sehingga kita tidak terjebak di masa lalu. Kebaikan-kebaikan yang kita punya di masa lalu kita bawa untuk diaplikasikan di masa sekarang. Mungkin program magang bisa dijalankan di mana saat ini program magang diarahkan untuk bekerjasama dengan LSM juga dengan mitra seperti lembaga pendamping. Itu beberapa upaya yang bisa kami lakukan untuk meningkatkan kualitas desain yg adil dan lestari.
Cecil Mariani: Ingin menanggapi tentang produk di supermarket yang memiliki regulasi yang sudah ditetapkan, di mana tidak semua produk bisa masuk di supermarket. Menarik bahwa kita berupaya mengembangkan ekonomi kecil namun ketika ingin dipasarkan untuk masuk ke dalam sistem besar tidak bisa, karena sebenarnya sistem besar ini tidak adil. Mungkin perlu dibuat satu sistem pasar yang adil, seperti adanya supermarket komunitas yg jumlahnya lebih banyak. Sistem ini tidak hanya melindungi orang yang berproduksi tetapi juga jalur-jalurnya. Ini perlu dipikirkan karena desain dalam kerangka sistem itu tidak hanya ada di area visual tetapi juga harus memperhatikan sistem secara keseluruhan. Maka pertanyaannya, apakah produk-produk itu bisa bersaing dengan produk-produk impor di supermarket? Atau sebenarnya perlukah bersiang dengan produk-produk yang ada di supermarket? Mungkin komunitas itu sendiri juga market, sehingga kita bisa saling membeli dari komnuitas.
Rio Bertoni: Menurut saya yang penting adalah kejujuran produk, masyarakat memerlukan itu. Maka kampanye sosial itu bisa mendekatkan antara masyarakat dengan produsen sehingga masyarakat mendapat informasi yang benar, dan produsen dapat menyampaikan pesan dengan benar dan jujur. Kuncinya disitu karena kalau orang sudah percaya, kita tidak perlu berkampanye secara massal karena orang sudah merasa dekat dengan produknya.
Zinnia: Apa kendala di lapangan untuk membuat orang bisa percaya?
Rio Bertoni: Ini karena beberapa orang masih belum percaya atau menurut pemikiran mereka produk-produk ini belum memenuhi standar. Orang kadang melihat produk itu lebih ke kemasannya, bukan karena keunggulan produknya. Oleh karena itu perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa produk ini baik, lewat kemasan yang baik, bahwa produk ini layak diserap oleh konsumen sehingga konsumen percaya. Kami dari komunitas pun berpikir bagaimana menyampaikan info yg benar kepada konsumen sehingga konsumen merasa nyaman dan senang dengan produk yg dihasilkan oleh komuntas tersebut.
Adityayoga: Desainer harus bisa menggali produknya dan menyampaikannya kepada masyarakat secara bertanggunjawab. Kampus bisa berperan dengan membuka hub kolabarasi dengan kantor-kantor desain di mana para desainer profesional di dalamnya bisa menjadi mentor.
Jusupta Tarigan: Kami melihat bahwa segmen pasar dari produk komlok bukanlah segmen di supermarket karena produk yang dihasilkan komlok itu lebih bagus dari yang ada di supermarket. Bagaimana supaya terjaga keberlanjutannya, untuk program paska #Parara sudah direncanakan akan dibuat sebuah pasar komunitas yang baru dengan sistem yang kolektif, sehingga produk akan terjaga kelangsungan supplynya. Inilah kekuatan #Parara dimana 22 lembaga bergabung untuk maju bersama.
Arief Adityawan (Divisi Pendidikan Adgi): Menanggapi komentar dari Cecil tadi mengenai dua hal: 1. Bagaimana desainer menjembatani visual, memecahkan problem dengan mengetahui apa yang ada di lokal dan menciptakan desain yang realistis ; 2. Ternyata desain yang baik saja tidak cukup karena sistem besar yang berjalan di kita tidak fair, fair trade belum dilakukan di supermarket. Dengan dua hal ini maka perlu dipikirkan jalur apa yang bisa dibuat lebih kreatif tanpa melalui supermaket. Mungkin kolaborasi Adgi + #Parara + pemerintah bisa membuka outlet yang dapat mengakomodir hal ini. Isu ini menarik dan perlu didiskusikan bersama.
Cecil Mariani: Komunitas pun juga jangan sampai tergantung dengan desainer grafis sehingga mereka akhirnya bisa jalan sendiri tanpa tergantung dengan desainernya. Upaya lain yang bisa dilakukan dalam membangun kepercayaan, mungkin bisa dibuat sistem standarisasi seperti label fair trade atau label organik. Mungkin #Parara bisa membuat standar sertifikasi yang bisa dibuat dengan label-label tertentu sesuai kondisi produknya.
Enrico Halim (Parara): Dari proses berjalannya persiapan kolaborasi antara universitas dengan #Parara, ini adalah satu eksperimentasi yang lucu dan banyak memberi pengaruh bagi para pelaku akademis maupun komlok. Ada hal yang menarik melihat dua pihak manusia ini ketika berkomunikasi, perlu ada proses untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Ini ada sesuatu yang dahsyat dari yang sebelumnya tidak tahu apa-apa sampai akhirnya menjadi sebuah karya visual.
Kegiatan ini memiliki aspek pendidikan yang berharga dari sisi komlok bahwa kemasan tidak harus dari plastik, atau tidak harus dgn kata-kata organik yang kemudian kata itu menjadi generik dan menjadi tidak punya arti lagi bagi komloknya. Disini ada hubungan manusia yang sebenarnya sangat penting untuk digarap, di mana sebenarnya mungkin kompetisi itu akhirnya tidak lagi dibutuhkan ketika kita bisa menjadi diri kita sendiri.