Ecoprinting adalah sebuah teknik cetak dengan pewarnaan kain alami yang cukup sederhana namun dapat menghasilkan motif yang unik dan otentik. Prinsip pembuatannya adalah, melalui kontak langsung antara daun, bunga, batang atau bagian tubuh lain yang mengandung pigmen warna dengan media kain tertentu. Teknik ini merupakan hasil perkembangan dari teknik ecodyeing, yaitu pewarnaan kain dari alam. Indiana Flint pada tahun 2006 mengembangkannya menjadi teknik ecoprint. Ketika itu, Flint menempelkan tanaman yang mempunyai pigmen warna dan menempelkannya pada kain yang berserat alami.

Dalam proses ecoprint, dikenal dua teknik pewarnaan, yaitu teknik iron blanket dan teknik pounding. Dalam teknik iron blanket, langkah pertama yang dilakukan adalah mordanting (pembersihan kain dari kotoran). Proses mordanting ini sama saja seperti mencuci pakaian. Setelah itu, siapkan pewarna dari bahan alam dengan merendam dedaunan dalam larutan cuka. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan zat warna pada dedaunan dengan maksimal. Lalu, setelah pewarna siap, bentangkan kain yang sudah dibersihkan dan tempelkan dedaunan yang sudah direndam dengan larutan cuka. Kemudian, gulung dengan pipa paralon lalu ikat dengan tali. Tahap terakhir, yaitu kukus kain yang telah diikat selama 2 jam.

Dalam teknik pounding, proses dan cara pewarnaan kain sedikit berbeda dengan teknik iron blanket. Perbedaanya terletak pada dua tahap paling terakhir. Perbedaan pertama adalah pada teknik iron blanket menggulung kain menggunakan paralon untuk mengeluarkan warna daun pada kain, sedangkan pada teknik pounding memukul daun pada kain menggunakan palu kayu. Perbedaan kedua yaitu pada teknik iron blanket, pengeringan dilakukan dengan mengukus kain selama 2 jam, sedangkan pada teknik pounding proses pengeringan dilakukan dengan menjemur kain langsung di bawah sinar matahari.

Karena dibuat dengan bahan alami, motif kain yang dihasilkan biasanya akan selalu berbeda meski menggunakan jenis daun dari tumbuhan yang sama. Warna dan motif yang tercetak pada kainpun pada umumnya akan memiliki karakteristik yang otentik bergantung pada letak geografis tanaman berasal.

Untuk menentukan apakah sebuah tanaman bisa dijadikan pewarna alami dalam ecoprinting atau tidak, kita dapat mengujinya berdasarkan warna, kandungan air dan aroma tanaman. Kandungan air sangat mempengaruhi keberhasilan proses ecoprinting sendiri.

  1. Tanaman beraroma tajam dapat menjadi salah satu indikasi bahwa tanama tersebut dapat digunakan sebagai pewarna alami.
  2. Jika tanaman digosokan kesebuah kain dan meninggalkan noda maka daun tersebut potensial untuk dijadikan pewarna alami.
  3. Apabila daun direndam pada air panas selama 10 menit dan merubah warna pada air tersebut maka tanaman ini juga berpotensi menjadi pewarna alami.

Ciri-ciri tersebut terdapat pada daun jati, eucalyptus, stroberi, jambu, pare, pohon Nangka, tanaman bougenfile, daun papaya, daun kelor, daun pakis dan sebagainnya.

Dalam proses pembuatan ecoprint, tidak semua jenis kain bisa dipakai. Hanya kain dari serat alam lah yang bisa digunakan.  Kenapa hanya kain dari serat alam? Karena hal itu bertujuan untuk memudahkan penyerapan warna dari daun ke serat-serat benang. Beberapa serat alami yang bisa digunakan antara lain adalah serat kapas (serat yang berasal dari biji tanaman ordo Malvales), serat linen (serat yang berasal dari tumbuhan rami), dan serat sutra (serat yang bersumber dari larva ulat sutra murbei (Bombyx mori)).

Demikian jenis kain yang dapat digunakan padatekini ecoprinting; kain belacu, kain mori, kain dobby,kain paris, katun sari, kain sutra dan kain katun.

Secara umum teknik ecoprinting hanya diaplikasikan pada selembar bahan kain saja, namun pada prinsipnya juga sangat bagus bila diterapkan pada berbagai produk pakaian maupun perlengkapan rumahtangga seperti; scraft, serbet, tirai, baju, celana, pashmina, sprei, kerudung, payung, sepatu dan tas.