Menyingkap Makna di Balik Rupa: Budaya Gendongan Bayi Asia (bagian 2)

Gendongan bayi dengan karakter budayanya dimiliki oleh banyak kebudayaan di dunia. Meskipun setiap kondisi sosial geografis mengondisikan kebudayaan yang berbeda, namun persoalan keinginan untuk sejahtera, penuh kasih sayang, dan saling melindungi, akan tetap universal. Selai itu gendongan bayi adalah suatu produk teknologi. Karena ia adalah produk teknologi dari masa tertentu, maka ini sekaligus menunjukkan karakter budaya pada masa tersebut, yang dalam pameran ini diartikulasikan melalui tema “Fertil, Barakat, Ayom” yang diselenggarakan oleh National Museum of Prehistory Taiwan, Studiohanafi dan Museum Nasional Indonesia. Oleh karenanya, pameran ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang budaya gendongan bayi dan praktik pola asuh anak di beberapa kawasan di Asia.

Gendongan bayi ialah simbol cinta dan kasih sayang mendalam dan universal. Manusia mengenal cinta melalui dunia gendongan bayi. Bersandar pada dada dan punggung ibu. Mencium harum dan merasakan suhu tubuhnya, merasakan perlindungan dan memahami makna cinta orangtuanya. Selain memiliki makna kasih sayang yang esensial untuk mempererat hubungan ibu dan anak dengan fungsi melindungi, gendongan bayi memiliki kekayaan makna budaya. Di seluruh penjuru dunia khususnya Asia, manusia menggunakan cara dan bentuk gendongan bayi yang berbeda-beda dan berkaitan erat dengan pola asuh anak. Penggunaan keahlian membordir, menjahit, dan pemberian manik-manik dari wanita dari berbagai tempat di dunia memperluas hiasan gendongan bayi, tak hanya menjadi ekspresi dari seni budaya, juga manifestasi konkret ekspresi kultural dari pengharapan terhadap kesuburan, berkat, dan perlindungan.

Pameran berjudul ‘Fertility, Blessings and Protection’ (Kesuburan, Berkah dan Perlindungan) ini dimulai di National Museum of Prehistory (NMP) Taiwan pada tahun 2014, kemudian berlanjut dengan mengerjakan tur pameran ke Indonesia yang berdasarkan misi pertukaran budaya. Pameran ini difokuskan pada benda berupa gendongan bayi, benda-benda nyata yang berasal dari cinta dan telah menggambarkan cerita-cerita abadi tentang manusia yang menyentuh hati.  Sebuah Pameran yang Didasari oleh ‘Cinta’: Cerita-Cerita Abadi tentang Umat Manusia. Gendongan bayi merupakan benda yang berperan sebagai ikatan penting yang mewakili cinta mendalam dan perhatian sepenuh hati dari orang tua kepada anak-anak mereka. Nilai universal ini dimulai sejak lama dan telah diterapkan di masa lalu hingga sekarang. Orang-orang yang berbeda di berbagai daerah telah mengembangkan adat kebiasaan mereka, upacara dan budaya berdasarkan nilai tersebut. Benda-benda buatan tangan yang amat halus secara bertahap menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya.[2]

Sebagai salah satu metode yang selalu ada di dalam program-program kesenian di Studiohanafi, pameran gendongan bayi ini tak luput dari penelitian etnografi. Maka, jauh-jauh hari sebelum pameran ini dirancang, dilakukan kerja etnografi oleh Studiohanafi dan pihak Taiwan selama beberapa waktu di Taiwan.[3] Pada skala waktu, pameran akan dimulai dengan data dari penelitian prasejarah dan arkeologi di Taiwan yang berkaitan dengan pengasuhan dan perawatan anak. Pameran ini juga akan memberikan gambaran tentang budaya gendongan bayi dan tradisi membesarkan anak dari suku Minnan dan masyarakat berbahasa Austronesia di Taiwan. Pameran menampilkan gendongan-gendongan bayi dan benda-benda perawatan anak lain yang digunakan oleh etnis minoritas di Barat Daya negeri China, masyarakat berbahasa Austronesia dari pulau Kalimantan, Bali dan kelompok etnis di Asia Selatan. Berbagai suku dan kelompok manusia telah mengembangkan sistem mereka sendiri dan gaya gendongan bayi berdasarkan budaya mereka yang unik, cara hidup, cuaca, kebiasaan dan pengalaman estetis.[4] Meskipun adanya perbedaan tipe, warna dan teknik dikarenakan perbedaan geografis, namun apabila fokus pada makna simbolis dari pola dan dekorasi yang ada pada gendongan bayi, dapat ditemukan bahwa mereka memiliki karakteristik yang serupa, yaitu: mengharapkan kesehatan ataupun keberuntungan bagi sang anak.

Di tengah situasi budaya gendongan bayi, gendongan tradisional saat ini sudah sulit ditemukan. Ini disebabkan karena cara hidup masyarakat di masa kini yang cenderung menyukai hal-hal yang praktis. Ketika ada kebutuhan bepergian bersama bayinya, masyarakat saat ini lebih senang menggunakan kereta bayi yang secara fisik memiliki jarak antara orang tua dan anak. Kehangatan tubuh ibu tidak dapat dirasakan oleh anak. Rangsangan visual bayi pun terbatas dengan arah menatap langit. Di sini terlihat adanya mata rantai yang terputus. Sejatinya, dalam merancang masa depan, perlu untuk memperhatikan perkembangan sosial-budaya pada masa-masa sebelumnya. Banyak sekali kata kunci dari budaya masa lalu yang tak bisa diluputkan sebagai bagian dari usaha merancang masa depan. Dalam hal ini, gendongan bayi adalah artikulasi atas hakikat manusia: relasi. Di zaman ini, kebebasan berekspresi dan hak-hak individu lainnya dijunjung tinggi, tetapi tetap tak mungkin untuk meluputkan hubungan-hubungan antar manusia. Sebagai usaha untuk menggali karakter-karakter terbaik dari masa lalu, pameran ini dapat menjadi sumber inspirasi awal bagi siapa pun untuk memperdalam dan memperkuat karakter bangsa ini. Para seniman, sebagai salah satu contoh, tentu merupakan elemen yang penting dalam proses memperkuat kebudayaan nasional kita, mengingat persoalan utama bangsa saat ini adalah bagaimana kita bisa menciptakan “kebudayaan bersama”. Pameran ini diharapkan menjadi momen untuk melihat relasi-relasi yang tercipta, tak hanya antara anak dan ibu, tetapi juga relasi antara masa lalu dan masa kini, dan bagaimana relasi-relasi tersebut memengaruhi terbentuknya dan terciptanya makna.[5]

[1] Farid, Hilmar, “Sambutan Direktur Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia” dalam Katalog Pameran Kebudayaan dalam Gendongan Bayi: Fertil Barakat Ayom, Museum Nasional Prasejarah Taiwan – Museum Nasional Indonesia, Jakarta, 2017, p. 7.

[2] Lee, Yu-Fen, “Sebuah Pameran yang Didasari oleh ‘Cinta’: Cerita-Cerita Abadi tentang Umat Manusia” dalam ibid., p. 4.

[3] Luthvianti, Adinda, “Konsep Pementasan Pembuka Pameran: Ayun Ambing” dalam ibid., p. 10.

[4] Chi-San, Chang, “Konsep Pameran Gendongan Bayi Asia” dalam ibid., p. 8-9.

[5] Farid, ibid., p. 7.