Menyingkap Makna di Balik Rupa: Budaya Gendongan Bayi Asia (bagian 1)
Dalam kebudayaan masyarakat-masyarakat di Indonesia sangat lazim seorang ibu menina-bobokan bayinya dengan bersenandung sambil mengoyang-goyangkan bayi di dalam gendongannya, agar sang bayi menjadi tertidur. Gendongan bayi yang paling praktis dan sederhana tentu saja terbuat dari kain biasa yang kedua ujungnya diikatkan di atas pundak seseorang, sehingga badan si bayi dapat di dekap dalam pelukan, dan berat bebannya dapat dibagi merata ke seluruh tubuh orang yang mengendongnya. Dalam kebudayaan manusia, baby carrier diperuntukkan sebagai wadah untuk menidurkan bayi, sehingga baby carrier pada dasarnya berfungsi juga sebagai cradle, namun belum tentu semua cradle memiliki fungsi sebagai baby carrier. Wadah menidurkan bayi (cradle) dan gendongan bayi (baby carier) dalam beberapa kebudayaan bisa dalam bentuk wadah sangat indah dengan hiasan manik-manik, tas untuk bayi dari kulit kayu, hingga wadah sederhana hanya dari serat-serat pohon tertentu.
Cinta yang dalam dari orang tua merupakan subyek penting dari manusia. Pelukan dari anggota keluarga dan suhu tubuh pun menjadi faktor yang menghangatkan seorang bayi semenjak kelahirannya. Gendongan bayi yang dibuat dari kain panjang mensimbolisasikan kasih dari penggendongnya yang tak berakhir dan ekstensif, dan sang bayi juga dapat mulai mengeksplorasi dan mengenal dunia lewat gendongan bayi dengan bersandar pada dada maupun punggung sang penggendong, mencium harum tubuhnya, dan merasakan suhu tubuh dan ritme pergerakkannya. Penggunaan keahlian membordir, menjahit dan pemberian manik-manik dari wanita dari berbagai tempat di dunia memperluas hiasan gendongan bayi, tak hanya menjadi ekspresi dari seni budaya, juga manifestasi konkrit ekspresi kultural dari pengharapan terhadap kesuburan, berkat, dan perlindungan.
Gendongan bayi khas suku-suku di Kalimantan terkenal akan dekorasinya yang mewah, khususnya akan kerajinan manik-maniknya yang mengagumkan. Gendongan bayi ini digunakan oleh masyarakat suku-suku Dayak di antaranya adalah suku Dayak Apo Kayan (Kenyah, Kayan, Bahau), Dayak Kadazan (Dusun Kajang), Dayak Berawan, Dayak Punan, Dayak Penan, Dayak Kerayan. Secara struktur, gendongan bayi suku Dayak dibuat dari papan kayu lunak berbentuk setengah lingkaran, yang berfungsi sebagai tempat duduk bayi. Pada kayu tersebut terdapat sebuah struktur dari anyaman yang terpasang dengan tegak. Gendongan dilengkapi dengan dua utas tali bahu. Cara pemakaian gendongan bayi seperti pada penggunaan tas ransel dengan posisi bayi berada di punggung ayah atau ibu yang menggendongnya. Pada bagian luar anyaman, dipasang berbagai benda-benda dekoratif yang sarat dengan nilai-nilai spiritual. Benda-benda itu semuanya dikaitkan pada anyaman yang melingkar. Motif dan objek yang banyak digunakan antara lain adalah taring harimau atau macan tutul dan motif berbentuk orang berjongkok. Motif-motif dan objek-objek seperti itu adalah penanda atas status sosial dan sekaligus menjadi perangkat pelindung yang kuat untuk melawan ancaman spiritual.
Pada beberapa suku Dayak, gendongan bayi dipandang sebagai pusaka yang berharga. Yang membuat gendongan ini istimewa adalah benda-benda yang dikaitkan pada struktur dasar gendongan bayi yaitu pada dudukan dari papan kayu beserta anyamannya yang keduanya dapat lapuk termakan usia, sementara benda-benda yang dikaitkan tersebut dapat dipindah untuk menempel pada struktur gendongan bayi yang baru. Maka, tidak heran bila ditemukan manik-manik atau benda-benda kuno lainnya yang melekat pada struktur gendongan bayi yang baru. Objek yang dikaitkan pada gendongan bayi bisa beragam, seperti gigi (harimau, macan tutul atau musang), kerang laut, koin, bermacam-macam jenis manik-manik. Gendongan bayi di beberapa suku Dayak menggunakan kayu, tanpa hiasan seperti gigi dan manik-manik.
Di suku Dayak Desa, gendongan bayi dikenal dengan sebutan Sandik atau Kebilai. Terbuat dari kayu Kepuak dengan hiasan dari kulit kayu yang sama, bermotif Lingkuk Bekantuk. Gendongan ini digunakan agar bayi dapat selalu bersama ibu atau bapaknya, mengingat ketika itu ladang masih sering berpindah-pindah dan seringkali berada di lokasi yang jauh dari rumah. Dengan adanya perangkat ini orang tua dapat terus melakukan aktivitasnya dan bayi dapat selalu bersama mereka. Gendongan ini digunakan bayi ketika sudah bisa duduk atau merangkak –sekitar umur 8 bulan. Untuk bayi yang masih kecil, mereka menggunakan kain kebat sebagai gendongan. Kain kebat suku Dayak Desa yang digunakan pada saat upacara pemandian bayi, bermotif Merinjan Bertangkai (berarti biji padi yang bagus), Bandung Berumpak (berarti sampan sebagai alat transportasi), Ruwit (tombak senjata), Patah Pakuk (yaitu tanaman pakis, yang merupakan menu makanan sehat bagi ibu yang baru melahirkan).
Gendongan bayi di bawah ini merupakan hasil karya tangan terampil Pak Loren yang berasal dari Desa Ensaid Panjang, Sintang, Kalimantan Barat, terbuat dari sebatang kayu Pelaik Lilin utuh tanpa sambungan, berhias ukiran motif Kenyalang Ngebuk Kupan atau Rumah Bala Petara. Motif ini bergambar burung Kenyalang yang bermakna dunia batara kayangan, dan Ngebuk Kupan yang berarti tempat tinggal bala petara atau penguasa alam semesta. Pada bingkai di sisi kanan dan kiri terdapat motif buah Pacat, bagian bawah bermotif naga (nabau), bentara dan Encerebung penguasa alam bawah.
Para orang tua di Suku Dayak Kenyah, mengenal gendongan bayi dengan nama Bening Aban, satu dari beberapa kerajinan khas Suku Dayak Kenyah yang terbuat dari kayu. Bening Aban dihiasi ukiran atau lapisan sulaman manik-manik serta uang logam. Kayu yang digunakan untuk membuat Bening Aban adalah kayu Pelai, yang ringan dan lunak. Kayu jenis ini banyak tumbuh di hutan-hutan primer dan mengandung banyak air. Bening Aban dibuat setinggi 38-40 cm, di bagian bawahnya diberi papan sebagai tempat mendudukkan anak serta diberi tali untuk diangkutkan pada bahu kiri dan kanan.
Gendongan bayi di bawah ini berasal dari Tanjung Selor, Kalimantan Utara berukuran 55cm X 40cm X 20 cm, terbuat dari bambu dan kayu, berhias manik-manik bergambar figur manusia dan burung enggang, serta ukiran bermotif daun pakis. Burung enggang melambangkan kehidupan dunia atas, terkait dengan keluhuran budi dan ketinggian derajat manusia. Daun pakis selain merupakan makanan sehat bagi ibu yang baru melahirkan, juga mengandung harapan agar sang anak memiliki sifat rendah hati. Hiasan taring harimau atau beruang melambangkan pengharapan agar kelak sang anak menjadi orang yang bijaksana. Makna filosofi dari bening aban sendiri yakni anak merupakan anugerah Tuhan dan harus dijunjung tinggi. Ragam hias wajah manusia dan macan pada hiasan ini menunjukkan bahwa pemakainya adalah bangsawan. Ragam hias manusia melambangkan roh nenek moyang sebagai pelindung, sedangkan ragam hias pakis bermakna keabadian dan kehidupan.
Masyarakat Dayak Bahau di Long Apari, Hulu Mahakam, Kalimantan Timur menggunakan istilah bening untuk menyebut gendongan anak. Bening ini terbuat dari rotan dan kayu. Bening yang polos tan- pa hiasan pada sisi luarnya digunakan oleh kalangan rakyat biasa. Pengunaannya pun diperuntukkan bagi kebutuhan sehari-hari yaitu menggendong anak balita. Para orang tua biasanya mengajak anak turut serta bekerja di ladang. Mereka menggendong anak di punggungnya menggunakan bening, sementara tangan mereka tetap beraktivitas.
Ba’ yang dalam bahasa Dayak Kenyah berarti gendongan bayi. Benda ini adalah sebuah karya seni, sebuah perangkat yang berfungsi untuk melindungi kesehatan anak, menampilkan dan menegaskan strata sosial, dan mekanisme untuk menciptakan dan memperkuat hubungan sosial.
(bersambung ke bagian II)
[1] Lih. Rudyansjah, Tony, “Gendongan Bayi dan Maknanya” dalam Katalog Pameran Kebudayaan dalam Gendongan Bayi: Fertil Barakat Ayom, Museum Nasional Prasejarah Taiwan – Museum Nasional Indonesia, Jakarta, 2017, pp. 12-17.
Comments :