Kolaborasi Lintas Budaya Antara Ilmu DKV dan Kerajinan Tenun Sintang (bagian 2)

Para perajin Sintang memiliki kapasitas luar biasa dalam proses panjang mulai dari mempersiapkan bahan-bahan dari alam sampai menyelesaikan kain tenunan mereka. Namun pengetahuan mereka tersebut bukanlah pengetahuan formal yang terdokumentasikan dan eksplisit-proseduralistik melainkan berakar pada praksis sosial. Epistemologi menyebut pengetahuan tersebut tacit knowledge yang berciri implisit, dibedakan dari explicit knowledge. Pengetahuan implisit yang tersimpan dalam praktik tradisi itu bukan pengetahuan yang lemah, buruk pada dirinya, atau melulu inferior dibandingkan dengan pengetahuan eksplisit. Bahkan segala jenis pengetahuan eksplisit selalu mengandaikan pengetahuan implisit, di mana yang terakhir ini amat kentara perannya dalam bidang-bidang seni. Hanya saja pengetahuan implisit yang lekat dengan keterampilan praktis itu sulit untuk dikembangkan tanpa bantuan pengetahuan eksplisit sama sekali.

Dalam konteks seni rupa dan desain, pengetahuan eksplisit dalam olah rupa salah satunya terwujud dalam proses berpikir atau abstraksi visual yang dimediasi oleh proses sketsa. Di sisi lain para perajin Sintang tidak terbiasa melakukan abstraksi visual melainkan pendekatan kerja mereka konkret, langsung atau tanpa mediasi abstraksi, yakni mengerjakan benda-benda kerajinannya langsung, serumit apapun motif dan proses pengerjaannya. Namun karena kondisi menuntut mereka mampu mengembangkan motif-motif sebelum mengerjakan kerajinannya, abstraksi adalah kapasitas yang wajib mereka miliki. Namun memberi lokakarya sketsa atau berpikir visual abstrak langsung kepada mereka yang tidak terbiasa juga amatlah sulit. Maka dari itu, Studio DKV Binus memberi lokakarya awal pada para perajin untuk melakukan abstraksi bentuk melalui permainan tangram.

Permainan tangram. Dokimentasi: Sari Wulandari.

Tangram adalah permainan susun gambar dari keping-keping geometris bersudut. Menggambar ulang obyek-obyek di sekitar dengan kepingan-kepingan geometris tangram adalah latihan abstraksi visual awal yang ideal. Dengan bantuan modul-modul tangram itu, para perajin bisa menemukan bahwa dari realitas konkret di sekitar mereka, bisa dipikirkan atau diabstraksi bentuknya tanpa realitas itu diubah lewat kerja atau sentuhan langsung. Dengan kata lain, tangram memberi latihan abstraksi geometris terhadap obyek-obyek yang ada di realitas, mirip dengan yang dilakukan oleh Pablo Picasso dahulu dengan Kubisme-nya. Melalui latihan ini, para perajin sudah satu langkah menuju ke mengabstraksikan motif-motif tenun ikat tradisional mereka sendiri, yakni bahwa motif tenun mereka bisa dipikirkan secara abstrak lewat gambar, dimodifikasi di taraf gambar, sebelum akhirnya dikerjakan langsung.

Lokakarya abstraksi visual bersama perajin Sintang dengan modul tangram. Dokumentasi: Sari Wulandari.

Lokakarya selanjutnya mulai mengolah motif-motif tradisional tenun ikat Sintang melalui proses sketsa. Abstraksi membuka kemungkinan pengolahan bentuk-bentuk lama menjadi bentuk baru, dari modifikasi ringan sampai berat. Meskipun demikian memang terdapat motif-motif tertentu yang masih bermakna sakral dan tidak dapat diubah-ubah secara sembarang. Namun proses lokakarya abstraksi visual atau sketsa akhirnya mulai bisa menghasilkan motif-motif khas yang lebih variatif, dan perajin tidak lagi sepenuhnya bergantung pada motif-motif turun temurun. Selain itu, keuntungan lain dari dibiasakannya proses gambar atau sketsa adalah para perajin sekaligus mendokumentasikan rancangannya yang kelak dapat diteruskan pada para perajin muda. Sementara dari para perajin, desainer modern bisa belajar bahwa bekerja dengan pendekatan konkret dan kolektif sebagaimana mereka lakukan ternyata dapat menjalinkan kerekatan sosial, selain bahwa kearifan tradisional mereka jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pola hidup bergantung teknologi tinggi.

Lokakarya sketsa pola tenun baru bersama perajin Sintang. Dokumentasi: Sari Wulandari.
Sketsa-sketsa pola tenunan baru. Dokumentasi: Sari Wulandari.