Kolaborasi Lintas Budaya Antara Ilmu DKV dan Kerajinan Tenun Sintang (bagian 1)

Sintang adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Penduduknya multi-etnis, namun mayoritas dihuni suku Dayak dan Melayu. Yang cukup terkenal dari Sintang ini adalah kain tenun ikatnya, sebuah warisan budaya dari suku Dayak yang bernilai seni tinggi. Namun di tengah laju modernisasi dan industrialisasi global, kerajinan ini turut terkena dampaknya. Masyarakat di berbagai penjuru “dusun global” kini semakin tidak tertutup dan mencukupi kebutuhannya dengan kerajinan lokalnya masing-masing, melainkan semakin saling terkoneksi dan memusar pada ekonomi pasar global, yang motornya tentu adalah industri massal. Kerajinan mulai diperbandingkan atau dilawankan dengan produksi massal manufaktur, dan hasilnya yang pertama semakin nampak tidak praktis dan tidak efisien. Kerajinan yang asalnya adalah “tuan rumah” di daerahnya masing-masing, mulai menjadi barang langka, eksotis, bahkan terlalu mahal untuk para pembuatnya sendiri.

Suasana kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Dokumentasi: Sari Wulandari.

Meski demikian, di tengah situasi “ironis” ekonomi pasar global itu, terbuka juga peluang untuk terus melangsungkan tradisi kerajinan lokal dalam apa yang disebut niche market. Di tengah kecenderungan homogenisasi lewat produksi massal, kini muncul pasar-pasar spesifik di berbagai penjuru dunia yang mencari produk-produk kerajinan,yang selain unik karena masih buatan tangan, cara produksi tersebut juga sebetulnya lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan produksi mekanis. Kualitas taktil, motif-motif unik dan ramah lingkungan dapat dikatakan adalah faktor yang paling diinginkan dari berbagai kerajinan tangan, tak terkecuali kain tenun Sintang.

Kerajinan tenun Sintang, Kalimantan Barat. Dokumentasi: Sari Wulandari.

Berbasis kepedulian pada lingkungan hidup dan pelestarian budaya, serta kebetulan berposisi sebagai pusat pengembangan desain visual, Studio DKV Binus menyambut baik ajakan dari Non-Timber Forest Products – Exchange Programme (NTFP-EP) Indonesia untuk terlibat dalam proyek pengembangan motif kain tenun Sintang sebagai produk ramah lingkungan. Proyek tersebut nantinya akan mengambil bentuk lokakarya kolaboratif antara desainer dari Studio DKV Binus dan para perajin lokal Sintang. Kolaborasi tentu menempatkan desainer dan perajin dalam posisi setara, bukan yang satu mengajari yang lain. Dan untuk mengetahui apa yang dapat disumbangkan desainer dalam pengembangan kain tenun Sintang yang rumit dan halus pengerjaannya itu, desainer perlu lebih dulu mempelajarinya dengan cermat.

Kain tenun ikat Sintang memang tidak diproduksi dengan mudah. Proses pembuatannya panjang dan bersinergi dengan alam, yakni dimulai dari penanaman kapas, pemintalan kapas menjadi benang, peminyakan benang, pewarnaan alami dengan mencelup, mengikat motif, hingga menenun. Proses menenunnya menggunakan alat yang terbuat dari kayu dan bambu dan disebut ‘gedokan’. Untuk menghasilkan selembar kain seukuran taplak meja, dibutuhkan waktu umumnya satu bulan. Sedangkan untuk membuat kain seukuran selimut, bisa memakan waktu hingga enam bulan. Motif-motif kain tenun dibuat dengan cara mengikat-ikat benang untuk membentuk gambar tertentu. Motif inilah yang membuat kain tenun Sintang sangat unik dan menarik. Dalam tradisi leluhur masyarakat suku Dayak, sebelum membuat kain tenun,dahulu diadakan ritual-ritual tertentu. Tujuannya agar hasilnya memuaskan. Ratusan motif-motif pada kain tenun ikat Dayak mengandung makna yang dalam karena berasal dari inspirasi dan pengetahuan para leluhur. Di dalam motif-motif itu tersirat petuah, pantangan dan semangat dalam kehidupan masyarakat suku Dayak. Ada motif-motif tertentu yang biasa dipakai untuk acara-acara adat dan dikenakan para bangsawan. Namun seperti kita tahu sebagian motif lagi memang dibuat menjadi berbagai produk suvenir & busana.

Motif diwariskan turun temurun dari perajin tua ke perajin muda. Dan sebagai sebuah tradisi, motif-motif baru tidak terlalu sering muncul, dan jika ada gaya motifnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah ada sebelumnya. Namun untuk memperluas pasar demi menjamin keberlangsungan tradisi ini, tenun Sintang perlu menjangkau niche market yang telah disebut di awal, yang terdiri dari kelompok muda. Kelompok ini lebih menyukai motif-motif yang dinamis dan berciri kekinian ketimbang yang sepenuhnya tradisional. Untuk dapat menjangkau pasar ini, para perajin Sintang perlu mengembangkan kemampuan abstraksi pola yang memungkinkan mereka membentuk pola-pola baru, alih-alih terus membuat kain berdasarkan kebiasaan turun temurun. Secara praktis, abstraksi dilakukan dalam proses sketsa atau menggambar rancangan sebelum pekerjaan menenun dimulai. Dan secara bukan kebetulan, abstraksi adalah kemampuan dasar para desainer yang terdidik secara modern, kemampuan yang akan dibagi dalam lokakarya kolaboratif bersama para perajin Sintang.