Video Games merupakan salah satu budaya populer yang berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi menjadi salah satu pilar utama keberhasilan video games sebagai budaya populer yang menjamur di dunia sekarang ini. Pada dasarnya manusia menyukai permainan (Damono, 2012), dan teknologi telah membuat ‘permainan’ menjadi semakin menarik dan mudah diakses. Video games telah hadir dari perangkat mobile hingga komputer dan game console.

Industri video games telah menjadi industri besar. Selayaknya raksasa ekonomi, ia tidak lagi meraup keuntungan hanya dari penjualan video games saja, penjualan merchandise, mainan, komik, wahana permainan dan sebagainya memberikan pemasukan yang sangat besar. Pola ekspansi ini juga biasa kita lihat pada industri komik. Dan seperti pada industri komik, karakter menjadi komoditi utama.

Transformasi video games menjadi film merupakan fenomena yang semakin banyak terlihat. Film sepertinya telah menjadi media ekspansi yang wajib dilakukan oleh sebuah games setelah mencapai taraf kesuksesan tertentu. Tidak hanya pada video games, hal ini lumrah kita lihat seperti pada novel-novel laris yang dijadikan film. Sepertinya film telah menjadi ‘gong-nya’ sebuah kesuksesan karya sastra maupun video games. Mungkin karena film sebagai wahana yang lengkap dan mampu menarik khalayak yang besar, yang artinya keuntungan baik bagi pihak industri maupun seniman. Dan sebagai media, video games memiliki materi yang tepat untuk dialih wahanakan ke sebuah film.

Berikut apa-apa saja yang bisa kita kupas dalam memahami pengalih wahanaan sebuah video games menjadi film. Dan Pengaruh-pengaruh yang saling diberikan terhadap media satu dengan yang lain.

Cerita & Tokoh

Pada awal-awal industri video games, permainan seperti Pac-Man (1980) dan Tetris (1984) menerapkan ‘cara bermain’ sederhana. Hal ini tentu berhubungan dengan kemampuan grafis pada jaman itu yang masih terbatas. Cerita belum menjadi bagian penting pada penciptaan sebuah video games, tokoh utama dan ‘action’ yang bisa dilakukan dalam menciptakan permainan adalah hal yang lebih penting. Tokoh-tokoh ini menjadi sangat populer, seperti Donkey Kong (1981). Pada game Super Mario Bross (1985), perkembangan teknologi grafis telah memungkinkan sang avatar menjadi lebih hidup dan melakukan ‘action’ yang lebih banyak serta memiliki cerita yang lebih kompleks. Mario dan Luigi pada game Super Mario Bross menjadi ikon game yang paling populer sampai sekarang dan merupakan salah satu game pertama yang telah dialih wahanakan pada berbagai media termasuk film animasi dan serial televisi.

Pada masa sekarang, cerita merupakan hal yang sangat penting dalam video games. Dengan cerita yang kuat memungkinkan ia diadaptasi pada media film. Seri game Tomb Raider (1996-2013) telah membuat dua film layar lebar yang cukup sukses. Pada filmnya, cerita ‘Tomb Raider’ harus ditambahkan bumbu-bumbu drama dan percintaan, ia harus ditambahkan tokoh-tokoh lain agar menjadi film yang menarik bagi penontonnya, tidak hanya khalayak pencinta video games tapi juga di luarnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan game-nya yang hanya fokus pada aksi laga. Keseruan dan ketegangan yang dibentuk dengan puzzle dan tingkatan level pada game-nya harus diadaptasi melalui potongan adegan-adegan dengan total durasi 90 menit-an.

Kita juga bisa melihat pengaruh film pada video games. Cara bercerita film melalui potongan-potongan adegan (cutscenes) juga diadaptasi di video games. Game Heavy Rain (2010) memiliki gameplay dengan teknik ‘interactive cutscenes’. dimana visual game seperti adegan film, namun pada saat tertentu sang pemain bisa mengontrol avatar-nya untuk melakukan pilihan aksi tertentu. Hal ini membuat game berjalan seperti layaknya sebuah film yang beralur linear. Memainkan game Heavy Rain seloah-olah menonton film, namun sang penonton memiliki kontrol akan cerita yang dibangun.

Selain cerita, tokoh utama juga harus mengalami adaptasi agar sesuai dengan medianya. Secara visual tokoh-tokoh pada film Street Fighter (1994) tidak bisa ditampilkan secara persis seperti pada game-nya. Tokoh-tokoh aslinya adalah gambar dalam bentuk 2D, ketika mereka diciptakan kembali pada dunia nyata dalam bentuk manusia sesungguhnya, tentu ada hal-hal yang akan terlihat sangat janggal jika tidak disesuaikan. Sama seperti tokoh X-men yang pada film ditampilkan menggunakan kostum berwarna hitam (tidak sesuai aslinya yang berwarna-warni). Hal ini disesuaikan dengan anggapan ‘keren’ pada era ini dan kesan hi-tech yang ingin dicapai.

Teknologi dan Adegan

Aksi pada video games dibuat semakin kompleks. Gerakan-gerakan superhero pada komik-komik bisa diciptakan dengan mudah dengan menggunakan efek-efek visual yang menarik. Awalnya hal itu sulit diciptakan di dalam media film. Kemampuan salto dan menembak dengan dua tangan Lara Croft dapat dengan mudah dilakukan di game Tomb Raider, namun pada film-nya hal itu menjadi mustahil. Tentu harus ada penyesuaian-penyesuaian, agar gerakan tersebut tetap terlihat seperti di video games namun doable. Seiring dengan kemajuan teknologi visual hal ini semakin berubah.

Film The Matrix (1999) memperkenalkan teknologi “Bullet Time” dalam merekayasa gerakan yang akhirnya menjadi sistem permainan yang terkenal lewat game Max Payne (2005) dan game-game action lainnya seperti Prince of Persia dan Infinity Blade. Hal ini memungkinkan, karena semakin kemari, video games dan film menggunakan teknologi-teknologi yang sama, seperti greenscreen dan rekayasa 3D dalam menciptakan ilusi visual yang dapat dipercaya.

Film seperti Lord of the Ring yang sarat akan teknologi 3D dalam menciptakan adegan dan tokoh-tokohnya, akan sangat mudah diadaptasikan menjadi video games dengan menggunakan rekayasa 3D yang sama dengan yang di film. Hal-hal yang terlihat di film bisa dilihat kembali di video game-nya. Bahkan, dengan teknologi ‘face scan’, para developer game bisa membuat avatar yang sama dengan sang aktor utama di film-nya.

Sebaliknya, dalam film The Matrix: Revolutions (2003) kita juga melihat bagaimana teknologi 3D digunakan sebagai ‘stuntman’ untuk tokoh Neo dan Smith dalam adegan berkelahi dimana terdapat gerakan-gerakan yang mustahil dilakukan oleh orang.

 

Video games dan film sama-sama merupakan media visual. ‘Penerjemahan’ yang terjadi dari video games ke film, dan sebaliknya, telah memiliki rambu-rambu visual yang jelas, tidak seperti karya sastra yang menjadi film misalnya. Ia telah memiliki ekspetasi visual kolektif, bukan lagi imaji individu per individu.

Teknologi telah mendekatkan dunia film dan video games. Secara visual, adegan yang ada di video games mampu diciptakan kembali di media film, begitu pula sebaliknya. Ia bisa menjadi begitu sama atau berbeda tergantung pendekatan yang digunakan, bukan lagi karena keterbatasan. Pengolahan visual untuk semirip mungkin, atau menyesuaikannya bisa menjadi hal yang menguntungkan, atau merugikan ketika tidak diolah dengan benar .

Hal yang paling penting adalah memahami bahwa media video games dan film adalah media yang sangat berbeda. Media video games merupakan media yang aktif. Sang avatar adalah perpanjangan tangan sang pemain. Pemain dibuat memiliki ilusi akan kontrol permainan dan cerita, seolah-olah sang avatar adalah dirinya sendiri. Di video game, ‘alternatif ending’ sudah menjadi gameplay lazim untuk memberikan pemain akhir cerita yang berbeda-beda sesuai dengan tindakan-tindakan yang dilakukan sang avatar selama bermain. Film merupakan media yang pasif. Penonton dibuat berdebar-debar, penasaran menunggu adegan per adegan, dan hanya bisa menerima dan mengikuti alur cerita, tanpa punya kuasa menentukan apapun.

Perbedaan ini merupakan hal yang paling mendasar dan harus dicermati. Banyak film yang dianggap gagal dalam mengadapatasi video games, dan sebaliknya, ketika ia tidak bisa memenuhi tuntunan struktur yang baik dari media yang dikendarainya.

Seperti yang dikatakan oleh Shigeru Miyamoto, game desainer dari Nintendo (2007): I think that video games, as a whole, have a very simple flow in terms of what’s going on in the game. We make that flow entertaining by implementing many different elements to the video game to keep the player entertained. Movies have much more complex stories, or flow, to them, but the elements that affect that flow are limited in number. So I think that because these surrounding elements in these two different mediums vary so greatly, when you fail to take that into account then you run into problems.”