Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi lain, seperti Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-makna subjektif, Durkhemian – Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian tentang dialektika, serta pemikiran Herbert Mead tentang interaksi simbolik.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan akal budi. Gagasan tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dapat dibuktikan kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta. Ungkapan Aristoteles ?Cogito ergo sum?, yang artinya ?saya berfikir karena itu saya ada?, menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.

Seorang epistemolog dari Italia bernama Giambatissta Vico, yang merupakan pencetus gagasan-gagasan pokok Konstruktivisme, dalam ?De Antiquissima Italorum Sapientia?, mengungkapkan filsafatnya ?Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan?. Menurutnya, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Ia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.

Terdapat 3 (tiga) macam Konstruktivisme, antara lain:

1. Konstruktivisme radikal

Hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita, dan bentuknya tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif.

2. Realisme hipotesis

Pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

3. Konstruktivisme biasa

mengambil semua konsekuensi konstruktivisme, serta memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Dari ketiga macam konstruktivisme terdapat kesamaan, dimana konstruktivisme dilihat sebagai proses kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian Individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang disebut dengan konstruksi sosial menurut Berger dan Luckmann.

Berger dan Luckman berpendapat bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia, walaupun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataannya semua dibentuk dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas dapat terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain, yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidup menyeluruh yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial, serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain:

1. Realitas Sosial Objektif

Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

2. Realitas Sosial Simbolik

merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media.

3. Realitas Sosial Subjektif

Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya.

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat yang telah membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui 3 (tiga) momen dialektis yang simultan, yaitu:

1. Eksternalisasi

Merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).

2. Objektivasi

Merupakan hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia), berupa realitas objektif yang mungkin akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality) atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.

3. Internalisasi

Merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa, sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social product).

Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah dialektika yang berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian terdapat proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk, melalui proses eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, setiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.

Gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, berlawanan dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial.

Kritis Teori Konstruksi Realitas Sosial

Basis sosial teori konstruksi realitas sosial adalah masyarakat transisi-modern sekitar tahun 1960-an, dimana pada saat itu media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Faktor media massa televisi dalam konstruksi sosial ini tidak dimasukkan sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi realitas sosial, tidak pernah terpikirkan oleh Berger dan Luckmann dalam gagasan konstruksi sosialnya, karena pada saat teori itu dibentuk, konteks sosial tidak melihat bahwa media massa akan berkembang seperti saat ini. Meskipun sejak semula telah disadari bahwa individu juga merupakan kekuatan konstruksi sosial media massa yang tetap saja memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas sosial dan keputusan masyarakat. Sehingga teori ini menjadi kurang relevan ketika fenomena media massa menjadi sangat substantive dalam proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Realitas iklan televisi membentuk pengetahuan pemirsa tentang citra sebuah produk. Keputusan konsumen memilih atau tidak terhadap suatu produk, semata-semata bukan karena spesifik yang telah terjadi, namun sebenarnya keputusan itu terjadi karena peran konstruksi sosial media massa yang diskenario oleh pencipta iklan televisi. Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, dan sebagainya.

Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann ini memiliki kelemahan, dengan kata lain tidak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semisekunder hampir tidak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann menjadi tidak bermakna lagi.

Walaupun sekarang teori ini menjadi kurang relevan karena mengabaikan media massa yang memiliki peran semakin substantive, namun sebagai pemikiran yang berakar pada tradisi fenomenologi, Berger dan Luckmann telah menyumbangkan gagasan yang signifikan dalam upaya membangun teori-teori sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) yang juga dapat dirujuk oleh bidang ilmu Desain.