Selasa, 22 Juni 2014 menjadi saat dimulainya babak baru kepemimpinan Republik Indonesia dimana hari itu secara resmi diumumkannya hasil perolehan suara Pemilihan Umum yang memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa jabatan 2014-2019. Indonesia telah melaksanakan Pemilihan Umum yang memilih Presiden secara langsung sejak tahun 2004 dimana sebelumnya, selama kekuasaan Orde Baru, presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama itu pula rakyat Indonesia tidak pernah memiliki presiden selain Soeharto. Perubahan tatanan berpolitik dan bermasyarakat tidak terlepas dari reformasi tahun 1998 yang mengakhiri masa Orde Baru sekaligus awal dari era keterbukaan dan kebebasan berpendapat.

Pada masa Orde Baru semua media berita secara langsung dikendalikan oleh pemerintah yang berkuasa. Media sebagai corong pemerintah mengakibatkan segala informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat harus melalui filter Departemen Penerangan dan persetujuan pemerintah pada masa itu. Pencabutan Surat Ijin Penerbitan dapat diberlakukan dengan alasan untuk menjaga stabilitas bangsa. Majalah berita mingguan Tempo yang edisi perdananya terbit tahun 1971 pernah mengalami 2 kali pembredelan dengan alasan yang sama: pemerintah tidak senang dengan isi pemberitaannya. Sebelum di bredel secara permanen tahun 1994, Soeharto hanya ditampilkan pada sampul muka majalah Tempo sebanyak 21 edisi. Bahkan wajah Soeharto baru muncul pada edisi ke 20 (17 Juli 1971) yang betajuk: “Struktur Politik Dirombak atau Dipermak” berisi tulisan mengenai pasca kemenangan Golkar, kendaraan politik Soeharto,  pada pemilu 1971.

Soeharto01

Dari 21 edisi majalah Tempo dengan sampul muka bergambar Soeharto hampir tidak pernah ditampilkan dalam bentuk penokohan selain sebagai negarawan dan menampilkan kewibawaannya. Penokohan tersebut didukung dengan gambar atribut yang dipakai berupa pakaian formil seperti yang biasa dipakai saat acara resmi maupun kenegaraan seperti setelan jas atau safari, dan berpeci.

Soeharto02

Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai langkanya sang Kepala Negara dijadikan coverstory. Bisa jadi kerena sedikitnya pemberitaan mengenai Soeharto yang layak untuk dijadikan tajuk utama pada waktu itu,atau justru sebagai bukti adanya pengawasan ketat pemerintah terhadap muatan pemberitaan sehingga Tempo lebih berhati-hati.

Hal yang berbeda setelah Soeharo lengser tahun 1998. Hingga meninggalnya tahun 2008, Soeharto muncul pada sampul muka majalah Tempo sekaligus coverstory sebanyak 21 edisi. Jumlah yang cukup banyak mengingat rentang waktu yang singkat dan pada masa itu dan ia tidak lagi berkuasa di Republik ini. Runtuhnya era Orde Baru seolah membuka kreativitas para perancang visual yang sebelumnya tersumbat sehingga dapat dihasilkan visualisasi dengan pendekatan yang berbeda. Kesamaannya hanya pada penerapan bahasa visual metaphore yaitu bentuk ilustrasi yang lebih konseptual untuk menerangkan ide yang lebih simbolik.Sosok Soeharto ditampilkan dalam keadaan yang bisa menimbulkan interpretasi yang beragam. Sebagian besar sampul muka bergambar Soeharto pada saat itu berkaitan dengan proses hukum yang melibatkan dirinya, hal yang tidak lazim saat orde baru.

Soeharto pernah digambarkan sebagai orang yang tak lagi berdaya. Hal yang bertolak belakang dengan citranya sebagai orang yang pernah sangat berkuasa di Indonesia dengan segala kewibawaannya seperti yang biasa digambakan pada sampul majalah Tempo pada masa Orde Baru. Ia digambarkan sedang duduk di kursi roda, mengenakan sarung ,berkemeja sederhana dan syal yang menguatkan kesan akan kondisi fisiknya yang menua dan tak lagi bugar.