Linearitas dalam Dunia Seni
Pada tanggal 30 April 2014, New Media Program – School of Design Binus University mengadakan acara temu muka dan sharing bersama dengan Prof. Dwi Marianto dari Institut Seni Indonesia Yogykarta. Menyambung artikel beliau; Linearitas di Hari Seni Sedunia, pada kolom Surat Pembaca media Kompas pada tanggal 15 April 2014, Prof. Dwi banyak mengupas tentang pandangan pemerintah mengenai penyamaan rumpun ilmu pengajar seni (pola linear) justru dapat menghambat terciptanya lompatan inovasi dalam berkarya.
Dalam temu muka dan sharing yang diprakarsai HOP New Media ini, tak terasa total berdurasi 2.5 jam dan tepatnya berlokasi di Binus University – kampus Syahdan. Disini kembali Prof. Dwi membuka wawasan metode berpikir seni yang tiada batas. Dalam berkarya atau mengajar seni dan desain, diperlukan penerapan proses berpikir yang keluar dari lingkungan keseharian kita. Beliau juga menambahkan perlunya melakukan metamorfosa ide yang kita jadikan acuan dalam berkarya. Penggabungan atau metamorfosa ini akan mengantar kita pada inovasi dan keunikan tersendiri.
Terkait dengan sistem pendidikan desain, Prof. Dwi juga mengutarakan kesamaan yang kental dalam dunia seni. “Seni dan desain bedanya hanya setipis bayangan.” Ucapnya dalam menjawab pertanyaan peserta dosen tentang apakah pola berpikir tiada batas ini bisa diterapkan pada dunia desain yang notabene merupakan dunia seni terapan bukan seni murni. Bagi Prof. Dwi, dunia seni sebaiknya tidak dikotakkan dari sisi penggunaannya. Namun berfokus pada proses pembuatan karya atau komunikasinya, baik seni dan desain sama-sama memiliki nilai inovasi yang hendak dicapai.
Demikian juga pada dunia pendidikan seni dan desain. Bila pengajar tidak memiliki pola pikir tiada batas, maka pendidikan seni dan desain akan menjadi sangat linear. Justru itu yang perlu kita tinggalkan, dengan mendorong pelajar berinovasi, bukan membatasi atau menyamakan proses berkarya yang menurut pengajar ybs terbaik bagi mereka.
Comments :