Theory and Critique : Expression Theory
Teori ekspresi merupakan teori dalam filsafat seni yang menekankan pada sisi ekspresi. Teori ekspresi bertentangan dengan teori imitasi.
Leo Tolstoy (1828–1910)
- Pertama, Tolstoy berpendapat bahwa seni adalah murni dari sebuah emosi.
Dalam teori ini Tolstoy membuat perbandingan antara sains dan seni. Sains lebih mengarah pada sesuatu yang rasional, dan argumentasi yang logis, sedangkan seni lebih mengekspresikan suatu pengertian, dengan mentransfer kebenaran dari pengetahuan alam, menjadi sesuatu yang berkaitan emosi dan intuisi. - Kedua, Tolstoy mengatakan bahwa fungsi seni adalah “menginfeksi” audience, sehingga antara seniman dan audience memiliki perasaan yang sama.
- Ketiga adalah menyangkut masalah etika. Dengan “menginfeksi” perasaan audience, seni harus berkontribusi terhadap peningkatan moral masyarakat.
(Thingking Art : hal 39-41)
Seni sebagai ekspresi diri
Benedetto Croce (1866–1952) dalam bukunya yang berjudul “Estetica” (dipubilkasikan pada tahun 1902), secara eksplisit mengemukakan teorinya tentang ekspresi dari sudut pandang seniman. Di sisi lain Robin George Collingwood (1889–1943) juga mengembangkan teori ekspresi dalam bukunya yang berjudul “Principles of Art” (dipublikasikan pada tahun 1937). Karena teori mereka memiliki kesamaan, maka teori ini disebut sebagai CC Theory.
Filsafat Seni – CC Theory
- Karya seni berada pada jiwa atau pikiran seniman. Seni merupakan ekspresi dari intuisi (Croce) atau imajinasi (Collingwood), dimana intuisi dan imajinasi berlangsung secara bersamaan.
- Karya seni yang telah ada di dalam pikiran seniman tidak harus direalisasikan ke dalam bentuk fisik / benda material.
- Karya seni sejati hanya dapat diakses oleh audience sejauh mereka melakukan re-experiences (Croce) atau penciptaan kembali (Collingwood) ekspresi dari seniman.
(Thinking Art : Hal. 42-43)
Seni berdasarkan Teori Ekspresi
Seni murni adalah seni yang mampu “menginfeksi” audience, sehingga apa yang yang dirasakan seniman juga dirasakan oleh audience. Dalam teori ekspresi, karya seni dalam bentuk fisik dianggap tidak penting. Namun yang penting adalah pemikiran, ide dan konsep seniman serta bagaimana audience dapat merasakan apa yang dirasakan seniman. Berdasarkan teori ekspresi, suatu seni dikatakan bagus, jika pesan atau ekspresi yang ingin disampaikan seniman sama dengan pesan yang diterima oleh audience.
Masalah dalam teori Ekspresi
Menurut teori CC, karya seni ada di dalam pikiran seniman dan tidak terletak pada benda-benda fisik. Jika pandangan ini diikuti dengan konsisten, maka akan banyak karya seni justru kehilangan statusnya sebagai karya seni. Di dalam beberapa genre seni, ada persinggungan antara kreativitas, pada satu sisi, dan bentuk serta prosedur sebagai teknik pada sisi lain.
Tidak semua karya seni melibatkan emosi dalam batin, misalnya arsitek dengan karya arsitektur bangunannya. Apakah suatu bangunan bisa disebut merupakan ekspresi perasaan sedih, gembira atau bahagia? Beberapa seniman terkenal justru sering menolak bahwa ada emosi dalam batinnya ketika menciptakan karya seni.
Sanggahan Terhadap CC – Theory
- Teori CC dapat memberikan lisensi kepada mereka yang berpura-pura memiliki karya seni di dalam pikirannya dan tidak pernah memberikan karya nyata untuk membuktikannya.“By maintaining that the work of art already exists in the mind of the artist, the theory gives license to those who pretend they have a work of art in their mind but never provide any proof for it. In these cases, rather than artists restricting the medium of their thoughts to a purely internal use, we are faced with individuals apparently lacking any medium of thought altogether.” (Thinking Art : hal. 47)
- Semua seni baik itu seni visual ataupun seni musik, sastra, dan lain-lain, seharusnya direalisasikan.
- Imajinasi jarang muncul secara detail / jelas, sehingga perlu diantisipasi dengan cara merealisasikannya ke dalam wujud karya yang nyata.
Pandangan Hans-Georg Gadamer (1900–2002)
Teori CC termasuk ke dalam hermeneutika, karena teori CC membedah pandangan detail tentang penafsiran suatu karya. Gadamer berpendapat bahwa terdapat 2 pont yang salah tentang hermeutika.
- Hermeneutika telah salah mengatakan bahwa ada perbedaan yang jelas antara ilmu pengetahuan dan realitas, antara penafsiran dan karya.
- Berdasarkan point 1, penafsiran dapat berdiri sendiri dengan individualitas penafsir. Jadi selama mengikuti metode yang benar, dapat memungkinkan semua orang untuk mencapai penafsiran yang benar.
Gadamer mengatakan bahwa tidak ada pembagian yang tegas antara pengetahuan dan realitas, karena pemahaman/interpretasi akan diserap kedalam realitas dimana kita akan mengalami dan melihatnya.
Menurut Gadamer, penafsiran karya seni tidak terfokus kepada seniman saja, tetapi lebih ke perpaduan dari pengalaman hidup seniman dengan pengalaman hidup audience. Pengalaman hidup, kepribadian individu, waktu dan latar berlakang audience, akan turut mempengaruhi cara penafsirannya terhadap karya seni.
Gadamer membuat kita sadar akan fakta bahwa point of view seseorang selalu berubah dan ditentukan secara historis, dimana karya seni tersebut ditafsirkan secara terus menerus dan beragam.
“It is a credit to Gadamer that he makes us aware of the fact that the ever-changing and historically determined points of view, from which artworks are continuously anddiversely interpreted, can be explained by the nature of the hermeneutic experience itself.” (Thinking Art : hal. 50-51)
Buku Acuan
Braembussche, A. V. (2006). Thinking Art. Amsterdam: Springer. (First edition in 1994)
Comments :