Iklan adalah mata pikiran dan mata hati konsumen
Hampir di semua lini kehidupan kita, iklan selalu meliputi. Mereka bersaut-sautan, berlomba memenangkan pertandingan yang arenanya ada di dalam pikiran dan hati konsumen. Sama seperti kompetisi atletik, siapa terkuat atau tercepat mereka yang akan mendapati hadiah, meskipun hadiahnya masih beragam sesuai kita akan memberikan apa, action dalam salah satu unsur pada AIDA (attanetion, interst, desire, action).

Lagu-lagu yang kita dendangkan, lirik yang kita hafal, menjadi ritme iklan itu sendiri. Di banyak kesempatan bahkan kita mengidentifikasi dan mengkategorikan berbagai kebutuhan kita melalui iklan. Iklan menjadi layaknya sahabat yang selalu memberi clue, indikasi, juga perhatian yang penuh agar kita lebih bijaksana bersikap  dan bertindak. How come, semua ini bisa terjadi pada iklan? Bukankah iklan adalah penggoda saat kita harus berhemat, yang membuat kebutuhan kita jadi ”prematur”, terasa selalu urgent dan kita menjadi gampang sekali merasa jadul? Benarkah iklan sudah terinjeksi pada diri kita, sehingga media yang paling efektif adalah pikiran dan hati kita? Jawabannya ada di kejujuran dan kedewasaan kita.

Kita bahkan mengukur etika, perilaku, moral bahkan peradaban menggunakan iklan-iklan. Bagaimana tidak, iklan seakan tak pernah tidur memberikan pelajaran dan terus berupaya menjejali kita dengan nilai-nilai baru yang selalu mereka up date sepanjang waktu. Iklan memperhatikan penampilan kita dari bangun tidur sampai berangkat tidur, iklan mengajak mata kita mengamati dan membandingkan berbagai obyek keseharian kita, iklan menkalkulasi nilai-nilai yang akhirnya kita imani sebagai standar pribadi seseorang dan lain sebagainya.

Iklan bukan saja kebutuhan pengiklan namun juga konsumen
Siapa yang  butuh iklan? Pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab. Namun tentu saja kita sepakat seakan-akan produsen lah yang sangat membutuhkan iklan. Oh tunggu dulu, kalau iklan menjadi media informasi dan pendidikan yang baik pasti konsumenlah yang sangat membutuhkannya. Apalagi apabila iklan kian mengusung pesan moral yang lebih banyak, lebih jujur dan dewasa, pasti bukan hanya pengiklan dan konsumen yang menantikannya.

Iklan adalah doa dan ikhtiar
Kalau kita meminjam sedikit saja istilah agama (karena di banyak kesempatan kita sering berat menggunakannya, termasuk untuk iklan) bahwa iklan merupakan doa dan ikhtiar untuk mendapatkan nilai yang diharapkan dari produk atau jasa. Sebuah doa dan usaha yang baik tentu saja akan didengar lebih baik oleh yang dituju dalam hal ini konsumen. Jadi iklan pun sudah selayaknya memiliki mazhab (metode) yang baik seperti hubungan hamba dengan Tuhannya. Semoga Tuhan mengabulkan iklan-iklan (doa) yang baik.

Noor Udin.SSn (ung)
Email : noorudinung@yahoo.com
Praktisi Edukasi, Pengamat Komunikasi Visual