Happy Design
The best way to cheer yourself up is to try to cheer somebody else up.
Mark Twain
Sudah nonton Happy Feet? Judul ini bukan sekuelnya. Happy Design terlintas begitu saja pada saat menyusuri proses kreatif sebuah karya desain. Ini sebuah catatan kecil tentang hal-hal kecil yang sudah terbiasa kita menghadapinya. Sekarang, apa hubungannya hepi dan desain? Pada hakekatnya desain adalah sebuah pola pemenuhan kebutuhan manusia. Faktor manusia menjadi menarik, karena disini, ia adalah subyek sekaligus obyek. Jadi segala sesuatunya sesungguhnya tentang manusia. Kemanusiaan tersebut melekat pada sisi desainernya dan sisi audiennya.
Salah satu prinsip kreatif adalah hadirnya keberanian untuk berbeda, unik dan orisinil dalam mendapatkan solusi terbaik. Dalam prosesnya lebih sering terkendala oleh hal-hal yang sifatnya teknis, subyektivitas dan politis. Misalnya karena tenggat yang begitu sempit, ketidakharmonisan komunikasi dan peran bisnis itu sendiri. Keadaan akan semakin memburuk ketika tembok penghalang itu datang serempak, proses kreatif tidak ideal lagi. Tidak fair. Ini tentu lazim terjadi baik di bangku sekolah, apalagi di dunia praktis. Kalau prosesnya tidak ideal, tentu hasilnya menjadi jauh dari ideal.
Sangat memprihatinkan apabila hal tersebut terjadi terus-menerus dan tidak disadari. Kreativitas sebagai misi paling vital akan buntu dan mandeg. Design work seringkali terlihat seperti pengulangan-pengulangan, repetisi, kemiripan (mirror), cut and paste dari karya-karya sebelumnya. Jangan tanya audien akan merasa bahagia dengan karya seperti itu, kita sendiri sebagai pencetus gagasannya pun pasti tak berkutik makna. Jangan sampai apatis dan sak karepmu*. Ngono yo ngono, ning ojo ngono*.
Bencana besar kalau hal ini juga melanda ranah pendidikan desain kita. Mahasiswa tidak menikmati tugas-tugasnya, dosen/ pengajar tidak menikmati prosesnya. Karya yang baik seharusnya adalah hasil komunikasi yang produktif antara mahasiswa dan dosennya. Mahasiswa membuka jendela gagasannya, dosen membuka ruang diskusi yang cair. Pemahaman yang dangkal akan peran komunikasi diantara para pihak hanya akan mendangkalkan makna belajar yang sesungguhnya.
Sayangnya, kita sering tidak menyadari peran emosi (perasaan) dalam menjalankan proses kreatif. Maka tak jarang karya yang sekilas penuh dengan atraksi visual hanya tampak sebatas kosmetik hampa dan hambar. Kurang mendalam, tidak berperasaan, arogan, dan berpotensi membunuh karakter tradisi yang sudah mengakar sebelumnya. Kalau sudah begitu, hakekat dan tujuan sebuah karya menjadi sirna.
Sebuah tips untuk keluar dari lingkaran buntu: pelajari lebih dalam dan pahami setulus hati sisi-sisi kemanusiaan dari orang-orang di sekeliling kita. Antara desainer dan kliennya, antara mahasiswa dan dosennya, seharusnya adalah sinergi positif dan team work dalam menjalani proses kreatif. Jalani dengan happy, nikmati sepenuh hati. Dalam melahirkan happy design, kita sendiri (desainernya) juga harus hepi dalam prosesnya. Happy design adalah prinsip mendasar pemenuhan kebutuhan yang hakiki. Hepi dalam menjalani proses kreatifnya untuk melahirkan karya yang dapat membuat hepi khalayaknya. Bikin karya agar orang lain bahagia, niscaya pahala mulia menantinya.
Selamat berkarya (dengan happy, tentunya!)
P10 (arifpsa@yahoo.com)
Dosen dan Praktisi Desain Komunikasi Visual
– – –
*sak karepmu = terserah kamu, sesukamu (idiom jawa), maknanya apatis, sikap skeptis, pesimis, tidak peduli.
*Ngono yo ngono, ning ojo ngono (idiom jawa), kurang lebih bermakna ‘jangan sekenanya/ jangan seenaknya)
Without aesthetic, design is either the humdrum repetition of familiar clichés or a wild scramble for novelty. Without the aesthetic, the computer is but a mindless speed machine, producing effects without substance. Form without relevant content, or content without meaningful form.
Paul Rand
Curiosity about life in all of its aspects, I think, is still the secret of great creative people.
Leo Burnett
Happiness is a form of courage.
Holbrook Jackson
Comments :