oleh : Tunjung Riyadi

“Malem Pak, besok bisa ACC gak?” Sederet kalimat itu muncul dalam layar ponsel. Ini sms ketiga kalinya dalam kurun sepuluh menit. Dari tiga nomor yang berbeda, tapi isi intinya sama. Permintaan dari mahasiswa untuk asistensi tugas kuliahnya.

Belum satupun saya balas. Karena saya lagi pusing di depan komputer, menyelesaikan pekerjaan editing video yang di ujung tenggat.

“Dasar anak-anak, jam 12 malem gini masih sms dosennya. Gak sopan blas..”

“Sudah gitu mintanya “ACC” lagi! Tau gak sih arti ACC? Asistensi bukan ACC! ACC brarti menyetujui…” Saya jadi tersenyum simpul lantaran  ingat gerutuan sesama rekan dosen tentang istilah ACC ini. Sering kali mahasiswa kurang bisa menempatkan diri ketika “berhadapan (baca: berkomunikasi)” dengan dosennya.

Salah istilah, salah waktu lagi. Akibatnya beberapa dosen pasang “topeng” seram saat mahasiswa membutuhkan bimbingannya.

Tiba-tiba saja saya disadarkan kenyataan adanya suatu lompatan besar dalam cara berkomunikasi antar manusia. Sepuluh tahun lalu handphone masih dianggap barang mewah. Sementara saat ini, adik kita usia SD pun lagi asyik motret aksi panggung Peterpan dengan handphone-nya.  Imbas yang terasa adalah ranah komunikasi yang makin melebar. Ranah pribadi yang dijaga ketat tak mampu menahan gempuran kemajuan teknologi komunikasi. Pernah terima sms nyasar (penipuan) undian berhadiah? Itu salah satu contohnya. Termasuk sms “minta ACC” dari mahasiswa. Itu hanya dari sisi telepon bergerak. Masih ada televisi & internet yang lebih dahsyat. Coba buang spam dan email sampah yang tiap hari anda terima. Media televisi? Sudah merem pun gosip perselingkuhan artis dan kejamnya sinetron masih kita terima.

Perkembangan teknologi komunikasi membawa dampak yang luar biasa bagi berbagai disiplin ilmu. Termasuk desain komunikasi visual. Satu halaman A4 jelas tidak cukup mengulitinya satu persatu. Tapi yang patut jadi bahan renungan adalah konvergensi gadget kita tinggal menunggu waktu. Televisi, kamera, komputer, pesawat telepon dan internet bakal menyatu. Nonton TV pakai handphone, motret dan kirim email pake HP, bahkan konon punya tv program pribadi kelak bisa disiarkan via HP. Bagaimana dengan nasib media kertas kelak? Majalah, koran, tabloid dan berbagai media kertas yang telah ada sebelumnya apakah tinggal menunggu lonceng kematian (mati suri)?. Terlalu sadis vonisnya. Temuan layar digital setipis kertas ternyata siap jadi perlombaan para ilmuwan. Isu lingkungan bahan baku kertas, yaitu pohon dari hutan yang makin kurus makin menyiutkan nyali. Sudah jelas pasti tantangan dunia desain komunikasi visual makin kompleks. Bukan sekedar menciptakan visual yang memanjakan mata, tapi harus siap dengan pengetahuan baru tentang media alternatif. Plus dengan antisipasi imbas perluasan ranah pribadi yang kehilangan privacy.

“Hoey Mas, jangan ngelamun.., ada SMS lagi tuh dari mahasiswa!” Tiba-tiba asisten editing saya berteriak. “Mbok, dibales.. kasian lho” lanjutnya. “Bukannya males, tapi emang gak punya pulsa..!” Walaahh…

* * *