Kreatifitas yang Merakyat

“Apaan nih? Lucu amat bisa gerak-gerak gitu. Ginian namanya apa sih?Fotoin gue dong… ntar gue taro di efbi”

Komentar yang terucap dari seorang pengunjung perempuan berdandanan masa kini yang datang bersama teman-teman sebayanya di pusat perbelanjaan yang baru diresmikan pembukaannya. Angkrek memang bukan nama yang akrab oleh masyarakat megapolitan apalagi generasi yang mahir menggerakan telunjuknya di atas layar sentuh sabak terkini. Mainan tradisional yang dikenal luas oleh masyarakat di Jawa Tengah, biasanya dijual di pasar, dengan bentuk fisik menyerupai wayang kulit namun tidak pernah diposisikan sederajat.

Angkrek00

Seperti halnya wayang kulit, terdapat sebuah bilah di tengahnya yang berfungsi sebagai struktur penguat sekaligus untuk digenggam dengan satu tangan oleh yang memainkannya. Biasanya angkrek terbuat dari kertas karton yang terdiri dari beberapa bagian berbentuk menyerupai bagian tubuh manusia. Bagian-bagian tersebut dirangkai dan dihubungkan dengan benang antara satu bagian dengan bagian lainnya sehingga dapat digerakan secara bersamaan lewat seutas tali. Meskipun bentuknya menyerupai wayang kulit, gerakan yang dihasilkan lewat menarik tali tersebut tidak seperti halnya wayang kulit yang elegan, gerak angkrek justru berkesan lebih jenaka.

Pada acara pameran karya dosen dan mahasiswa Binus School of Design yang diselenggarakan di Mall @ Alam Sutera 12-15 Desember 2012 lalu berbarengan dengan Ground breaking kampus baru Binus University di kawasan Tengerang Selatan itu, angkrek menjadi ikon sekaligus memperkenalkan kembali mainan tradisional sebagai bagian dari khasanah budaya nusantara.

Yang unik dari kegiatan ini, angkrek ditampilkan sebagai media untuk menghasilkan bentuk yang lebih pop dan eklektik. Bentuk dan geraknya yang merepresentasi rakyat jelata membuatnya mudah untuk diaplikasikan dengan berbagai gaya atau aliran grafi karena angkrek memang pada hakekatnya adalah sebuah mainan tradisional yang tidak pernah menjadi bintang atau property seni pertunjukan. Berbeda dengan wayang kulit yang umumnya memiliki bentuk merujuk karakter tertentu dari cerita pewayangan, angkrek tidak pernah memiliki pakem sehingga membuatnya “aman” untuk dimodifikasi tanpa dihantui pertentangan bila ada norma yang dilanggar. Lebih jauh lagi, angkrek dapat dijadikan media baru dalam menuangkan ide visual yang turut bertanggungjawab dalam pelestarian budaya tradisional.

Pada pameran ini pengunjung dari berbagai kalangan dan usia dapat langsung berinteraksi dengan memegang, mencoba menggerakan, bahkan mencabut angkrek dari dudukannya. Meskipun perilaku tersebut bukan suatu yang lazim dilakukan pada obyek pameran seni, hal tersebut menjadi ukuran ketertarikan pengunjung akan karya budaya yang memang seharusnya diposisikan sebagai obyek yang merakyat.