Tipografi sebagai menulis mekanis[1] (dibedakan dari menulis tangan) sepintas nampak bagai hal remeh-temeh sejak hampir semua orang modern kini melakukannya entah di komputer atau ponsel. Meskipun demikian, tipografi sebetulnya merupakan bagian dari aktivitas berbahasa khas manusia yang kompleks, berciri historis dan kultural. Bangsa Indonesia yang plural misalnya, dalam fase sejarah modernisasi-nya memutuskan untuk menggunakan aksara Latin, aksara indo-eropa yang muncul di peradaban Romawi Kuno pada abad ke-5 SM,[2] dalam rangka mengusung satu bahasa nasional yang mengatasi perbedaan suku dan budaya. Terlepas dari orang menyadari atau tidak latar historis tersebut, mereka yang tidak punya sejarah menggunakan aksara Latin toh akan tidak fasih, atau tidak bisa memakainya.
Aksara Latin merupakan rangkaian 26 karakter visual yang masing-masing merujuk pada bunyi fonemik yang tidak bermakna selain sebagai karakter-karakter aksara itu sendiri. Namun ke-26 karakter tersebut dapat dirangkai menjadi ribuan kata, kalimat dan paragraf bermakna, membentuk dimensi visual dari bahasa ujaran.[3] Meskipun demikian, tipografi sendiri tentu bukan sekadar kegiatan menyusun rangkaian aksara secara repetitif seperti dalam kegiatan menulis atau mengetik rutin. Sebagaimana bahasa verbal memiliki gramatika, kosa kata, diksi dan berbagai cara peng-gaya-annya secara verbal, tipografi juga memiliki sintaksis, gaya dan perbendaharaan visualnya yang amat kaya, memberi ruang bagi eksplorasi rancang merancang.
Salah satu wujud perbendaharaan visual paling mendasar dalam tipografi adalah typefaces atau jenis-jenis huruf. Dalam konteks tipografi Latin saja, meski yang divisualisasi adalah satu karakter aksara Latin yang sama, terdapat ribuan jenis huruf yang telah dirancang, yang paling dikenal barangkali Times New Roman atau Helvetica karena menjadi huruf bawaan komputer. Dalam dunia desain komunikasi visual, untuk memudahkan pengenalan terhadap begitu banyaknya jenis-jenis huruf, studi tipografi secara umum membuat klasifikasi huruf berdasarkan ciri visual dasarnya yakni: huruf serif atau berkait, huruf sans serif atau tidak berkait, huruf script atau berbentuk tulisan tangan, dan terakhir huruf display.
Orang mungkin bertanya mengapa atau buat apa empat klasifikasi huruf beserta ribuan jenis huruf yang termasuk di dalamnya itu. Jawabannya lebih kurang akan sama dengan pertanyaan mengapa atau buat apa berbagai jenis, ragam dan corak busana. Apakah cara berbusana kita yang membeda-bedakan untuk berbagai konteks, misalnya untuk ke pasar, menyambut tamu, bersantai, menikah, atau pergi melayat dan seterusnya, hanyalah urusan permukaan, supaya tampilan gaya dan tidak bosan? Memang unsur dekoratif tidak dipungkiri ada, namun cara berbusana kita yang beragam itu sebetulnya lebih kepada mengekspresikan makna-makna kultural yang kaya dan khas manusia. Maka keragaman jenis huruf dalam tipografi pun dapat kita mengerti sebagai keragaman pernyataan kultural, bahkan subkultural.
Seperti halnya berbusana, terdapat berbagai konteks perancangan dan penggunaan jenis-jenis huruf dari empat klasifikasi tersebut di atas. Ketika konteksnya adalah kemudahan dibaca, lazimnya orang merancang dan menggunakan jenis huruf serif atau sans serif, dan bukan script atau dekoratif karena dua yang terakhir ini secara visual terlalu kompleks. Namun terdapat konteks di mana ekspresi atau identitas visual spesifik menjadi penting, dan di sinilah terbuka lebar-lebar ruang kemungkinan bagi perancangan jenis-jenis huruf partikular termasuk display. Studio tipografi DKV New Media tidak lain berupaya untuk terus menyemai ruang-ruang penjelajahan rancangan tipografis yang telah, dan akan terus mewaktu itu.
[1] Sejak penemuan mesin cetak tipografis oleh Guttenberg tahun 1450, dimungkinkanlah ‘menulis secara mekanis’ yakni lewat mediasi sistem pencetakan huruf timah pada saat itu, kini dengan mediasi teknologi digital. Bdk. Biľak, Peter. “What is Typography.” Typotheque.com. https://www.typotheque.com/articles/what_is_typography <diakses April 2017>. Tentu bukan sisi teknologinya yang menonjol dalam tipografi melainkan justru bagaimana memberi tulisan mekanis itu sentuhan-sentuhan manusiawi, yakni melalui berbagai aspek rancangan visualnya.
[2] Lih. Meggs, Philip B. & Alston W. Purvis. Megg’s History of Graphic Design, 5th Edition. Wiley, New Jersey, 2012, pp. 29-32.
[3] Carter, Rob et al. Typographic Design: Form & Communication, 6th Edition. Wiley, New Jersey, 2015, p. 31.