Kini memang jaman branding yang selain membuka peluang, juga ternyata membawa tantangan bagi bidang desain komunikasi visual. Brand terdiri dari aspek-aspek tidak berwujud (meliputi misalnya brand value, brand loyalty, brand equity dan sebagainya) dan aspek berwujud (identitas visual). Meskipun di antara aspek tidak berwujud dan berwujud itu terdapat kesaling terkaitan, pertanyaannya memang adalah seberapa jauh prioritas pada aspek-aspek tidak berwujud dapat memberi jawaban bagi pada desainer akan persoalan-persoalan bagaimana mengkreasi wujud identitas visual yang optimal.
Desainer identitas Sean Perkins dari biro konsultasi terkemuka North Design, Inggris melihat perbedaan mendasar antara brand dan identitas visual: “Brand adalah keseluruhan pengalaman, layanan, produk, kepribadian dan ekspresi” dan dari sini ia menolak dakuan bahwa desainer adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas ada atau tidaknya keseluruhan pengalaman itu.[1] Yang secara faktual dapat dikerjakan desainer lanjut Perkins adalah justru mewujudkan identitas visual yang optimal, bukan berbagai aspek tidak berwujud yang terangkum dalam strategi branding. Karena bagaimana desainer membuktikan secara ilmiah-empiris bahwa dirinya telah mewujudkan aspek-aspek yang memang tidak berwujud seperti nilai atau ekuitas merk itu? Brand value misalnya, dalam hemat Adrian Shaughnessy, desainer dan profesor DKV yang berbasis di London, Inggris, bukanlah sesuatu yang bisa dimanipulasi atau dibuat-buat melainkan hanya dapat dicapai melalui kualitas konkret dalam hal pelayanan dan produk dari para stakeholders sendiri.[2] Dari sini dapat ditarik kesimpulan juga bahwa dari identitas visual yang optimal, tidak serta merta akan tercapai kesuksesan bisnis para stakeholders.
Jika demikian, apa yang dapat dilakukan para desainer komunikasi visual? Apakah menyerah begitu saja pada kesewenangan peluang yang memang harus diderita para stakeholders, atau justru desainer tetap mengupayakan identitas yang optimal secara visual, dengan ekspektasi bahwa para stakeholders juga bekerja keras mengoptimalkan layanan atau produknya. Kiranya, jawaban yang sehat dan masuk akal adalah jawaban yang kedua, di mana artinya identitas visual (aspek berwujud) tetap merupakan unsur yang penting dalam strategi branding (aspek tidak berwujud). Untuk itu berbagai aspek visual dalam proses kreasi brand identity tetap penting dalam pendidikan dan praktek DKV.
Yang perlu dicapai adalah identitas visual yang memiliki kualitas ekspresif, dan dengan itu dapat memberi impresi kuat dan langgeng, namun juga tidak menipu atau menyesatkan orang. Kesan visual yang kuat tentu berkaitan dengan performa perseptual-optis dari desain identitas itu sendiri dan implementasinya dalam berbagai media. Shaugnessy yang kritis terhadap isu branding versus identitas visual menyatakan bahwa “…semua identitas merk yang sukses itu sangat mudah diingat, kuat secara optik, dan didesain dengan kepekaan akan gaya dan proporsi. Ini adalah kualitas teknis yang dapat dievaluasi dan dinilai, namun saya juga mencari seberapa baik identitas merek tersebut sesuai dengan entitas yang dilayani.”[3]
[1] Shaughnessy, Adrian, “Why Designers Should Give Branding Back its Soul,” Creative Bloq, October 20, 2009, http://www.creativebloq.com/branding/give-branding-back-its-soul-10135066 <accessed September 2017>
[2] Ibid.
[3] Ibid.