Pecinan Glodok Sebagai Bagian Dari Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Jakarta Dalam Kajian Semiotik Bagian 1

Semiotik melihat ruang sebagi tanda dengan makna, “kepanjangan diri”, “tempat berlindung” atau “zona aman”. Bahwa ruang (space) merupakan struktur yang bertolak dari diri manusia. Ketika manusia memberikan makna/fungsi pada ruang tersebut , maka ruang menjadi tempat (place) (Hoed, 2014: 121). Pemaknaan ruang dan tempat pada kawasan Glodok merupakan pemaknaan ‘kepanjangan diri’ atau identitas dari manusia penghuninya, sebuah kawasan pecinan yang memiliki sejarah panjang, terbentuk dan berkembang dalam interaksi ruang, identitas dan kuasa. Bahwa apa yang kita lihat pada Glodok sekarang merupakan rentetan akumulasi peristiwa dan kebijakan yang merupakan respon terhadap kawasan Glodok.

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor DIII-bII/4/56/73 menetapkan bahwa kawasan Glodok sebagai kawasan cagar budaya dan termasuk dalam program revitalisasi Kota Tua. Pecinan Glodok termasuk dalam rencana pengembangan zona 3 yang memiliki visi ‘Pelestarian Lingkungan Pecinan’ dengan fungsi utama sebagai Pusat Wisata Belanja Tematik Pecinan (UPK Kota Tua Jakarta, 2007). Pertanyaannya adalah Apakah visi ini cukup untuk memperlihatkan wajah Glodok sebagai bagian dari Wisata Kota Tua, bagian dari sejarah Indonesia? Bagaimana kondisi Glodok saat ini? Bagaimana revitalisasi yang tepat untuk kawasan Glodok? Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi apa saja yang perlu diperlihatkan dari Glodok sebagai bagian dari Kawasan Kota Tua, mempertanyakan tanda-tanda yang ada dan yang tidak ada.

Sekilas Sejarah Pecinan Indonesia dan Glodok

Pola awal pemukiman Tionghoa di kota-kota pantai utara Jawa seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya sekarang sulit sekali dicari, karena perubahan morfologi kotanya yang sangat cepat dan perubahan garis pantai yang terus menjorok ke laut dari tahun ke tahun. Namun pola dasar awal pemukiman seperti di kota-kota pelabuhan Cina selatan masih dapat dilihat. Inti dari elemen dasar pemukiman seperti Klenteng, pasar, pelabuhan dan aksis jalan utama yang tegak lurus pantai dimana ujungnya terdapat klenteng, masih terlihat dengan jelas sekali. (Handinoto, 1999: 23). Ini menunjukkan Pecinan selalu menempati daerah yang strategis dalam tata ruang kota di Jawa. Daerah Pecinan sering menjadi “Pusat Perkembangan” karena merupakan daerah perdagangan yang ramai. Klenteng, Ruko (rumah toko), Gerbang Masuk merupakan ciri khas yang ditemui di Pecinan. Glodok merupakan Pecinan yang terbentuk dengan pola yang sama.

Kedatangan bangsa Belanda di Indonesia memberi dampak besar pada perubahan pola kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ong Eng Die dalam tulisannya di ‘Peranan Orang-orang Tionghoa dalam Perdagangan'(1979) menyatakan bahwa peristiwa pengangkatan masyarakat Tionghoa sebagai warga timur asing (vreemde-oosterlingen) oleh Belanda adalah peristiwa yang paling memberi dampak besar atas peran warga Tionghoa dalam susunan kemasyarakatan di Indonesia. Masyarakat Tionghoa menjadi perantara antara importir kulit putih dengan masyarakat pribumi. Bagi Belanda, warga Tionghoa adalah masyarakat kelas dua dan bagi masyarakat pribumi mereka dianggap kaki tangan Belanda. Posisi ini menyebabkan masyarakat Tioghoa menjadi kaum ‘elite minoritas’ (Kurniawan, 2010).

Glodok juga pernah dijadikan kawasan gettho oleh pemerintahan Belanda. Peristiwa ini dimulai setelah tragedi pembantaian masal warga Tionghoa oleh Belanda pada tahun 1740, yang dikenal dengan peristiwa ‘Tragedi Berdarah Angke’. Warga Tionghoa di Batavia dipaksa untuk tinggal dan beraktifitas hanya di dalam kawasan Glodok. Aturan “Wijkenstelsel” yang dikeluarkan pihak Belanda saat itu menetapkan warga Tioghoa hanya boleh bermukim di tempat yang ditentukan dan memerlukan ijin khusus jika hendak keluar dari kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan konsentrasi warga Tionghoa (cap elite minoritas semakin tertanam).

Glodok tumbuh dengan segala aktifitas ekonomi, industri, sosial dalam satu tempat. Warga Tionghoa hidup berdesak-desakan, dimana area pemukiman, pasar, industri saling tumpang tindih (kondisi ini masih membekas sampai sekarang). Tahun 1920 aturan Wijkenstelsel dihapuskan, pertumbuhan kawasan Glodok terus meluas sehingga batas-batasnya menjadi kabur.

Pasca Kemerdekaan, jurang sosial yang dibuat pemerintahan kolonial Belanda antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi masih melekat. Pada era Orde Lama dan Baru, pemerintah Indonesia memberlakukan aturan-aturan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa dan keturunannya. Kondisi ini mencapai puncaknya saat tragedi kerusuhan Mei 1998. Glodok yang menjadi pusat warga keturunan Tionghoa, yang saat itu telah tumbuh menjadi daerah pusat perniagaan besar menjadi sasaran kekerasan dan penjarahan oleh warga yang melakukan kerusuhan.

Kawasan Glodok saat ini telah kembali tumbuh menjadi pusat perniagaan dan pusat perdagangan elektronik. Glodok juga dikenal sebagai tempat wisata kuliner makanan-makanan eksotis yang memiliki akar budaya Tionghoa.

Berlanjut ke Bagian Dua http://dkv.binus.ac.id/2015/09/30/pecinan-glodok…iotik-bagian-2/ ‎

Jonata Witabora