Apakah Pengalihwahanaan harus selalu mengubah sumbernya?

Sapardi Djoko Damono dalam bukunya: Alih Wahana (2012) memperkenalkan istilah alih wahana. Alih wahana merupakan peralihan kesenian dari satu media ke media yang lain. Alih wahana sebenarnya bukan suatu hal yang baru, contoh saja pewayangan Jawa yang merupakan peralihwahaan atas epos Mahabrata dan Ramayana India, atau lebih lama lagi: budaya tulis yang sebenarnya merupakan pengalihwahanaan dari budaya lisan, ‘penerjemahan’ bunyi (abstrak) menjadi bentuk visual. Mungkin untuk jaman sekarang, peristiwa alih wahana yang paling sering kita jumpai merupakan alih wahana dari karya-karya sastra seperti novel dan cerpen menjadi film.

Apakah alih wahana harus selalu mengubah sumbernya? Ada baiknya jika kita mengenal apakah suatu media itu dulu untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Setiap media atau yang disebut ‘kendaraan’ oleh Sapardi Djoko Damono, terdiri dari unsur-unsur yang saling berinteraksi dan pada akhirnya menciptakan suatu struktur tersendiri. Setiap media memiliki strukturnya masing-masing. Pada seni rupa maka unsur yang paling kuat adalah gambar, ia ‘berbicara’ dengan gambar. Pada seni sastra maka unsur utamanya adalah aksara. Pada karya sastra, pembaca dibawa ke ruang imajinasi untuk menciptakan imaji dari cerita yang disampaikan. Rangkaian kata-kata digunakan secara cermat  untuk membangun suasana atau ‘gambar’. Pada  karya film, imajinasi itu diperlihatkan dengan sangat mudah dan cepat dengan hanya menampikan saja gambar dari situasi atau adegan tersebut.

Ketika terjadi peralihan wahana maka terjadi perubahan dari struktur yang satu ke struktur yang lain. Unsur-unsurnya menjadi berubah dan interaksi antar unsurnya juga berubah. Hal ini yang mendasari prinsip alih wahana, dan harus disadari betul ketika kita melakukan pengalihwahaan suatu karya seni. Adaptasi perlu dilakukan, unsur-unsur yang tadinya perlu mungkin tidak diperlukan lagi dalam struktur media yang baru begitu pula sebaliknya, ada unsur-unsur yang harus ditambahkan. Ini merupakan hal yang menarik bahwa peralihawahanan membuka peluang untuk ‘terjemahan’ yang memperkaya karya seni itu sendiri pada akhirnya.

Sebagai contoh, alih wahana yang terjadi dari film ke video games dan sebaliknya. Kedua media memiliki struktur yang jauh berbeda. Video games merupakan media yang aktif, interaksi pemain (khalayak) sangat tinggi. Sang avatar dalam game tersebut merupakan perpanjangan tangan sang pemain. Pemain memiliki kontrol akan jalannya cerita. Keseruan dibentuk dari aksi yang harus dilakukan dan puzzle yang harus dipecahkan untuk dapat meneruskan permainan hingga akhir cerita. Film sebaliknya merupakan media yang pasif. Jalan ceritanya linear dan penonton hanya bisa menerima apa yang disuguhkan. Keseruan dibentuk dari ketidaktahuan penonton akan apa yang akan terjadi dengan sang tokoh dan akhir dari cerita.

Pengalihwahaan pasti melakukan perubahan pada sumbernya. Perubahan atau penyimpangan ini perlu agar karya tersebut tetap menjadi karya yang baik di media-nya yang baru. Perubahan pada alih wahana bukanlah keharusan tapi sesuatu yang tak terelakkan.

Sebagaimana yang dikatakan Firman Lie (2012): “Dalam proses alih wahana dari karya sastra ke dalam bentuk film akan didapati ketidaksesuaian ‘penyimpangan’ dengan bentuk awalnya, baik ketidaksesuaian yang disengaja atau tidak disengaja, atau bahkan penyimpangan yang terlalu jauh dari bentuk awalnya. Hal inilah yang menarik untuk diteliti, sejauh mana ketidaksesuaian itu terjadi dalam sebuah proses alih wahana.”

jonata witabora