Ideologi Patriarki pada Iklan Komersial

Pendahuluan

Diskursus gender masih didominasi mengenai konsep perbedaan peran dan antara  laki-laki   dan   perempuan. Perdebatannya bukan semata fokus pada pelaku (laki-laki dan perempuan), namun lebih kepada sistem dan struktur budaya patriarki. Hal ini berawal dari konsepsi  gender yang memiliki karakter produksi dan konstruksi budaya yang sifatnya dinamis. Sistem budaya patriarki yang melandasi aspek identitas, subjektivitas dan seksulitas ini mengalami reduktivitas yang menghasilkan stereotip bahwa perempuan adalah makluk yang  lemah  lembut,  cantik, emosional, pasif dan keibuan, sedangkan laki-laki adalah  makhluk  yang  kuat,  agresif, dan perkasa. Adanya pencitraan tersebut  dapat menimbulkan  kesan diskriminasi  terhadap kaum perempuan. Media massa memliki andil besar dalam proses pengukuhan stereotip ini.

Sebenarnya penampilan figur laki-laki dan perempuan di media massa sudah lama berlangsung, walaupun pembahasan ini baru diangkat pada tahun 70-an, seiring dengan meluasnya konsep tentang  gender. Menurut pendapat Sita Van Bammelen, khususnya pada iklan-iklan di barat, perempuan sangat tersubordinasi. Tempat perempuan berada di rumah, sementara figur laki-laki selalu ditampilkan sifat maskulinitasnya dan penuh tantangan. Citra pria digambarkan sebagai sosok yang lebih kuat, rasional, dominan, pandai dan berkuasa. Dari sinilah pencitraan seperti itu kemudian disebut sebagai sterotip gender. Sterotipgender banyak menjadi ide dan citra pada berbagai iklan di media.

Pemahaman iklan di media massa, tidak hanya sebatas sebagai medium penyampaian pesan, akan tetapi media hadir sebagai ‘’ruang’’ identifikasi identitas sekaligus sebagai tempat kontestasi nilai, tanda dan citra. Dalam pencitraan ini, seringkali imaji maskulinitas berada dalam posisi dominan, dan sebaliknya nilai feminitas berada dalam posisi marjinal. Dalam hal ini pada media massa berlangsung proses perebutan ‘kuasa tanda’, demi pengukuhan hegemoni patriarki.

Menurut Mansour Fakih, maskulinitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep gender yang melatari dimensi soial dan budaya, dimana gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial maupun kulutural manusia. Perbedaan fisik tersebut akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis yang kemudian disosialisasikan dan diperkuat melalui pembelajaran lingkungan. Misalnya bayi perempuan yang baru lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna merah muda, sedangkan bayi laki-laki yang lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna biru muda. Perbedaan lainnya terdapat pada pola pengasuhan, misalnya anak perempuan diberikan mainan boneka ataupun permainan yang beresiko rendah, sedangkan anak laki-laki diberikan mainan mobil-mobilan, tembak-tembakan ataupun permainan yang beresiko tinggi. Hal ini terus berlanjut sampai kepada pertumbuhan mental hingga dewasa.

Pembahasan

Secara umum maskulinitas sendiri merupakan konsep yang terbuka, bukan merupakan identitas tetap dan monolitis yang terpisahkan dari pengaruh ras, kelas dan budaya, melainkan dalam sebuah jarak identitas yang kontradiktif. Sementara menurut Hanke Robert, hubungan antara maskulinitas dan media muncul pertama kali tahun 1970-an dan baru mendapat perhatian pada 1980-an, melalui salah satu karya film yang dinilai mengetengahkan konsep maskulinitas yakni ‘Masculinity as Fact’. Karya ini dinilai sebagai karya pertama yang mengusung wacana maskulinitas. Melalui pendekatan kontruksionis yang mengedepankan representasi dan makna, beberapa ilmwuan mengadopsi orientasi feminis post-strukturalis yang menganggap bahwa maskulinitas sebagai tanda salah satu subjektivitas yang memperbaiki identitas sosial.

Iklan bukan hanya sekedar informasi mengenai produk tertentu, namun iklan adalah suatu medium yang menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji. Wernick melihat iklan sebagai media promosi budaya, dan iklan merupakan sarana ekspresi ideologi dan simbolik budaya. Selanjutnya iklan dapat menjadi sebuah wacana dalam masyarkat, karena iklan berada dalam ruang tanda dan simbol. Imaji menjadi komoditas yang ingin ditawarkan. Imaji maskulinitas serta stereotip dalam iklan dihadirkan melalui dunia tanda dan wacana dalam dominasi nalar ideologis dominan yang cenderung patriarki. Penyebaran konsep maskulinitas dalam masyarakattidak terlepas dari peran serta mediasebagai penyebar informasi dan komunikasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Media berperan penting dalam memproduksi nilai-nilai maskulinitas. Maskulinitas bukan sekedar kejantanan yang ditampilkan melalui aksi kekerasan. Maskulinitas juga merujuk pada penggambaran fisik ideal laki-laki yang dilekatkan dengan nilai kejantanan dan keperkasaan dalam menarik perhatian lawan jenis melalui kebugaran tubuh dan penampilan.

Salah satu  media yang menyoroti persoalan gender mengiidentifikasikan setidaknya terdapat empat karakterisktik maskulinitas yang seringkali mendominasi sejumlah iklan media massa, yaitu sikap dengan perilaku baik atau sportif, mentalitas pemberani (pahlawan), pejuang (militer), dan laki-laki ideal dengan tubuh berotot.

Media telah berperan mengekspresikan dan mengkonstruksi langsung realitas sosial tentang laki-laki, definisidalam wacana maskulinitas. Konsep maskulinitas yang telah diterima melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat, disebarluaskan oleh media secara kesinambungan.Konsep ini digunakan oleh para produsen dengan melekatkan produk-produk pada citra maskulinitas yang mengacu pada ideologi patriarki.Maskulinitas sebagai komoditas, dipergunakan para produsen dalam  industri periklanan dengan memberikansebuah solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki dapat diperoleh dari produk yang mereka tawarkan, walaupun tujuan akhirnya adalah keuntungan ekonomi bagi produsen tersebut.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Didit Widiatmoko menjelaskan bahwa maskulinitas merupakan pencitraan dalam iklan-iklan rokok. Produk rokok selalu diasumsikan dengan simbol kejantanan, pemberani, petualang, dan macho. Beberapa contoh tagline, seperti”Pria Punya Selera”, ”Selera Pemberani”, identik dengan imaji maskulinitas. Pemikiran bahwa pria adalah sosok yang aktif, dinamis, berani dan kuat,sedangkan wanita adalah sosok yang pasifdan lemah, dimanfaatkan sebagai referensi utama bagi para pembuat iklan rokok.

tumbIklan

Gambar 1 Iklan Rokok “Marlboro”.
Gambar 2 Iklan TVC “Axe”.

Marlboro adalah salah satu iklan yang menggunakan penokohan simbol heroic (Marlboro Man), figur maskulinitas yang tangguh, mandiri dan berani. Marlboro memiliki makna bukan hanya sekedar rokok, namun telah menciptakan sensasi imaji maskulinitas dalam nalar khalayak. Citra maskulin yang heroik telah terwakilkan pada label Marlboro.

Axe merupakan iklan deodoran yang mengedepankan pria yang terlihat menarik akibat aroma deodorant “Axe” yang digunakannya. Pada iklan ini, dapat dilihat adanya bias-bias gender yang terjadi pada sosok perempuan, dimana terdapat suatu reduksi bahwa laki-laki adalah makhluk superior bila dibandingkan dengan perempuan. Perempuan menjadi objek sekunder, dimana perempuan tersebut hanya mengamati kegagahan sosok pria.

Kesimpulan

Ideologi patriarki adalah konsep pemikiran dimana posisi perempuan selalu dianggap lebih rendah dari laki-laki. Laki-laki mendominasi dan perempuan tersubordinasi. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai macam iklan yang ada di sekitar kita, mulai dari iklan produk rokok, minuman energi, deodoran, dan lain-lain. Sejumlah iklan ini mendukung adanya anggapan  bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki. Tercipta suatu ideologi bahwa perempuan itu pantasnya di rumah melakukan segala pekerjaan rumah, sedangkan kehidupan laki-laki berada di luar, tangguh dan penuh tantangan. Adanya kesimpulan bahwa terdapat bias-bias gender dalam kehidupan sehari-hari, melalui media yang menanamkan berbagai ideologi guna kepentingan tertentu ataupun dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Bias-bias gender yang muncul merupakan salah satu bentuk ketidakadilan akan peran wanita demi menunjukkan superioritas laki-laki.