Modernitas versus Kreativitas

Hiruk-pikuk modernitas kian mengubah dunia menjadi belantara citra. Berbagai ide kemajuan memicu perkembangan teknologi informasi dan melahirkan perpacuan dromologis antara fantasmagoria dan aura. Era ini menjadi wadah tumbuh kembangnya generasi millennial, generasi internet, atau yang lebih dikenal sebagai generasi Y, dan generasi Z. Tak pelak lagi, pengalaman estetika mereka didominasi oleh percepatan dunia yang dikungkung oleh budaya visual (visual culture) dalam bentuk representasi citraan yang menampilkan sensasi visual (visual pleasure). Sementara, pencarian pada wilayah esensi rupa cenderung terabaikan. Kondisi ini beriringan dengan fenomena jejalan dari berbagai citraan yang menghimpit di setiap sudut kehidupan mereka saat ini.

Mulai dari papan iklan digital, televisi, internet, computer game, sampai dengan perangkat gadget personal. Demikian masifnya imej-imej itu mendera kehidupan keseharian, hingga memberikan sensasi visual yang begitu cepat pengaruhi persepsi inderawi mereka.

Kondisi sedemikian menghadirkan proses pembingkaian yang kian mengukuhkan perangkapnya akan kepekaan (sense) yang disebut David Mitchel Levin sebagai rasa kemenyeluruhan (sense of wholeness). Terjadi penutupan dan pembatasan wawasan dan cara pandang estetik. Kepekaan sebagai benih kreativitas kian tergerus, dan hanya akan menghantarkan pada pengalaman dunia material yang bersifat permukaan, sekaligus dangkal (supervisial). Dengan demikian kemampuan sejati ekspresi dan eksperiensi tidak akan mampu meyakinkan diri bahwa ada hubungan antara nila-nilai yang berharga di atas segala citra/tanda mengenai realita sehari-hari yang ditunjukkan berbagai metafora, logika, dan simbol yang bersifat estetik.