Manajemen Tetris

oleh : Danu Widhyatmoko.

Setiap individu memiliki karakter, keunikan, kelebihan dan kekurangan. Menjadi satu tantangan terbesar apabila kita sanggup dan mampu menempatkan mereka pada sisi mereka yang paling tepat, paling sesuai dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang ia miliki.

Tetris! Saya rasa hampir tiap individu mengenali permainan sederhana ini. Sederhana namun keunikannya mampu membuat dirinya bertahan sekian waktu menjadi permainan yang tetap dimainkan hingga saat ini. Kita tak pernah tau bentuk apa yang bakal muncul, harapan begitu sering tak sesuai dengan kenyataan. Entah itu bentuk balok bujur sangkar, balok “L”, balok “S” pendek, balok panjang. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, kita harus memutar-mutar balok yang muncul, menyesuaikan dengan balok yang lain, hingga nilaipun dapat diperoleh. Kadang berharap hasil yang besar sambil menunggu si balok panjang muncul namun malah bentuk lain yang muncul, bukan hasil besar yang kita dapatkan, malah balok tak bernilai semakin tinggi bertumpuk. Dan akhirnya — GAME OVER!

read more

Balok perbalok kita putar-putar, geser ke kanan atau ke kiri, kadang balik lagi, diulang lagi dari awal. Sementara waktu terus bergerak, si balok semakin dekat dengan dasar, bila tidak cepat mengambil keputusan, ruang kosong akan tercipta, nilai pun tak kan maksimal diraih.

Manajemen Tetris! Saya tidak tahu, apakah istilah ini sudah ada yang mematenkan atau menggunakannya. Namun saya pribadi telah menggunakannya lebih dari tujuh tahun yang lalu, dan pada kelas Character Building IV semester lalu yang saya ajar, istilah ini turut saya perkenalkan kepada para mahasiswa.

Dalam proses kerja tim, berharap mendapat anggota tim yang ideal adalah mimpi hampir setiap orang. Sebaik apapun peraturan yang dimiliki, sebagus apapun sistem kerja yang diciptakan, selengkap apapun perangkat kerja yang dimiliki, penyesuaian mutlak tetap dilakukan. Terlebih aplikasi sistem, aturan dan perangkap tersebut akan diterapkan pada manusia yang sudah jelas-jelas teramat tak mungkin untuk 100% diseragamkan. Butuh sekian banyak penyesuaian, adaptasi, proses coba-coba, tambal sulam, bahkan kadang pengecualian. Hingga tiba pada satu titik, si manusia itu akan klop dengan lingkungan dan keunikan yang dimiliki. Tiap manusia pasti memiliki keunikan dan potensi, tinggal bagaimana mengeluarkan segenap keunikan dan potensi tersebut. Ketimbang membuang waktu dan tenaga berharap pekerja sempurna turut masuk ke dalam tim kita, akan jauh lebih baik bila energi tersebut kita salurkan guna mencari posisi yang tepat untuk si pekerja sesuai dengan kemampuan, keunikan yang dimilikinya, hingga satu titik ditemukan sebuah tempat, sebuah posisi, yang dapat me-
maksimalkan hasil akhir yang dikerjakannya.

Seperti halnya balok-balok tetris yang kita mainkan, kita olah arah dan posisinya hingga menemukan formasi yang pas, tanpa harus merubah bentuk asli dari si balok, karena memang tidak mungkin dilakukan pada permainan tersebut.

Dalam kehidupan nyata, merubah seseorang merupakan hal yang teramat sulit, walau bukan tidak mungkin, namun energi yang dibutuhkan pasti akan terserap teramat banyak. Karena pada saat kerja, kita hampir selalu menjumpai manusia dewasa, menjumpai sosok yang biasanya telah “jadi”, telah memiliki karakter yang kuat, yang tercipta dari beragam proses pengembangan diri. Salah satu keuntungan menjadi dosen itu adalah kita dapat menjadikan mahasiswa ataupun kelas menjadi tempat latihan mengembangkan diri, mestinya sih tidak perlu jadi dosen pun profesi lain tetap memungkinkan untuk mengembangkan diri. Salah satunya misalnya, yang dulu jika presentasi masih panas dingin, tidak runut apa yang dibicarakan, namun karena mesti bicara di depan kelas paling tidak seminggu sekali maka kemampuan presentasi pun semakin terasah.

Selain “latihan” di atas, kita juga berkesempatan untuk menerapkan Si Manajemen Tetris ini di kelas. Bagaimana caranya? Mahasiswa datang dengan segenap latar belakang, segenap permasalahan [kadang lebih tepat disebut sebagai “alasan”], segenap kemampuan yang sangat-sangat beragam. Memaksakan satu buah sistem dan satu buah pendekatan hanya akan menciptakan keseragaman yang semu, yang tak mampu hanya akan semakin tertinggal. Disitulah letak tantangan terbesar menerapkan Manajemen Tetris. Bagaimana kita mencari sela, mencari segala kemungkinan untuk dapat memaksimalkan si mahasiswa. Butuh beragam pendekatan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kadang adakalanya kita perlu sedikit “show up” dengan kemampuan yang kita miliki, menunjukan kenyataan kepada mahasiswa bahwa karya yang mereka kerjakan itu teramat jauh dari kebutuhan dunia kerja, intinya tetap memotivasi mereka. Kadang ada mahasiswa yang memungkinkan untuk dimotivasi dengan menggunakan tangan kiri kita [tidak berlaku untuk dosen kidal], untuk menunjukkan gambar dia itu tak jauh kualitasnya dengan hasil gambar tangan kiri kita. Tapi bila metoda tersebut diterapkan di mahasiswa yang lain, yang sensitif, mungkin sekali si mahasiwa jadi sakit hati bahkan berhenti kuliah selamanya! Kadang ada yang butuh diberikan target, penghargaan dan hukuman yang jelas, ada pula yang cukup dibiarkan saja tapi segala target terpenuhi. Kadang ada mahasiswa yang bakal maksimal bila sudah “diceramahi” dulu sekian jam, tapi ada mahasisa yang jangankan diomeli, baru disindir saja matanya sudah merah menahan tangis.

Bakal sulit menerapkannya? Pasti! Terlebih dengan jumlah mahasiswa perkelas yang tidak memungkinkan terjadinya pendekatan personal, mungkin bakal ideal bila satu kelas hanya terisi 20 mahasiswa saja. Kelas yang paling mungkin untuk melakukan pendekatan ini adalah kelas Tugas Akhir. Tapi di situlah tantangannya, sesulit apapun setidaknya terjadi mutualisme, kita tetap mendapatkan keuntungan untuk mengasah kemampuan kita menghadapi beragam individu.

Selamat mencoba!

* * *